1. Latar Belakang
Lembaga
Pegadaian di Indonesia sudah lama berdiri sejak masa kolonial Belanda. Untuk menekan
praktek pegadaian illegal serta memperkecil lintah darat yang sangat merugikan
masyarakat, maka pemerintah kolonial Belanda memonopoli usaha pegadaian dengan
mendirikan jawatan pegadaian yang berada dalam lingkungan Kantor Besar Keuangan.
Kemudian pada tahun 1930 dengan stbl. 1930 nomor 226. jawatan pagadaian itu diubah
bentuknya menjadi Perusahaan Negara berdasarkan pasal 2 IBWI (donesche Bedrijven Wet) yang
berbunyi : penunjukan dari cabang-cabang dinas negara Indonesia sebagai
perusahaan negara dalam pengertian undang-undang ini, dilakukan dengan ordonansi.[1]
Pada saat ini
gadai adalah hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun pada nyatanya
masih banyak orang yang belum mengetahui hukum gadai dalam islam. Tuntutan
hidup yang semakin keras membuat banyak orang memilih mendapatkan uang dan
barang dengan cepat meski tidak mengetahui hukum-hukumnya dalam islam.
Pada makalah ini akan sedikit diuraikan mengenai gadai
dalam perspektif Islam, dimana hal itu sangat diperlukan, mengingat sebagian
besar warga Negara Indonesia adalah muslim.
2. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar
belakang diatas yang akan membahas mengenai gadai dalam perspektif syariah,
maka perumusan masalah makalah ini adalah :
-
Apa pengertian gadai?
-
Bagaimana sejarah gadai syariah?
-
Apa saja hal-hal yang berhubungan gadai syariah?
-
Bagaimana perbedaan gadai konvensional dengan gadai
syariah?
3. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan
masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah :
-
Agar memahami pengertian gadai.
-
Supaya mengetahui sejarah gadai syariah.
-
Untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan gadai
syariah.
-
Agar memahami perbedaan gadai konvensional dengan gadai
syariah.
PENGERTIAN GADAI
KONVENSIONAL DAN SYARIAH
1.
Pegadaian
Konvensional
Pegadaian
Konvensional (Umum) adalah suatu hak yang diperbolehkan seseorang yang
mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut
diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau
oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, seseorang yang berutang
tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan
barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang
berutang tidak dapat melunasi kewajibannya ada saat jatuh tempo.
Perusahaan
umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi
mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa
pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke Masyarakat atas dasar hukum gadai.
Gadai sendiri memiliki arti yaitu memperkuat hutang
dengan benda yang bisa membayarnya darinya, atau dari harganya, jika tidak bisa
membayar dari jaminan peminjam.
2. Pegadaian Syariah
Akad (transaksi) terbagi tiga:
a) Transaksi yang pasti dari kedua belah pihak, seperti jual beli, sewa menyewa
dan semisal keduanya.
b) Transaksi yang boleh dari kedua belah pihak, bagi setiap orang dari keduanya,
membatalkannya, seperti wakalah (perwakilan) dan semisalnya.
c) Transaksi yang boleh dari salah seorang dari keduanya, tidak yang lain,
seperti gadai, boleh dari pihak yang menerima gadai, pasti dari pihak yang
menggadaikan (yang memberi jaminan kepada kreditor), dan semisal yang demikian
itu yang hak padanya untuk satu orang atas yang lain.
Gadai
dalam perspektif islam disebut dengan istilah Rahn, yaitu perjanjian untuk
menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata Rahn secara
etimologi berarti Tetap, Berlangsung, dan Menahan. Maka Dari segi bahasa Rahn
bisa diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap.
Ar
Rahn adalah
menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya[2].
Rahn
merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil utang.
SEJARAH PEGADAIAN
1. Sejarah Pegadaian Konvensional
Pegadaian
dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan Belanda. Pengenalan
di Indonesia pada awal masuknya Kolonial Belanda, yaitu sekitar akhir abad XIX,
oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank tersebut memberi jasa pinjaman
dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini pada
hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada awal abad 20-an pemerintah
Hindia-Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan
cara mengeluarkan staatsblad No.131 tahun 1901. Peraturan tersebut diikuti
dengan pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah dan statusnya diubah
menjadi Dinas Pegadaian sejak berlakunya staatsblad No. 226 tahun 1960.
Selanjutnya
pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli atas kegiatan
pegadaian di Indonesia. Dinas pegadaian mengalami beberapa kali bentuk badan
hukum sehingga akhirnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan umum. Pada tahun
1960 Dinas Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian. Pada
tahun 1969 Perusahaan Negara Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Jawatan
(Perjan) Pegadaian, pada tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian
melalui PP No. 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990. Pada waktu pegadaian masih
berbentuk Perusahaan Jawatan, misi sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya
acuan yang digunakan oleh manajemennya dalam mengelola pegadaian[3].
2. Sejarahnya Pegadaian Syariah
Terbitnya PP/10
tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan
Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus
diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah
hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha
Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa
operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga
Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun terdapat beberapa aspek yang
menolak anggapan itu.
Konsep operasi
Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas
rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor
Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit
organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini
merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari
usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta
dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan
Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar,
Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Di tahun yang sama
pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah[4].
HAL-HAL YANG
BERHUBUNGAN DENGAN PEGADAIAN SYARIAH
1. Dasar hukum Gadai (Rahn)
a. Al-Qur’an. Firman Allah SWT:
وإن كنتم على سفر ولم
تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته وليتق الله
ربه ولا تكتموا الشهادة ومن يكتمها فإنه آثم قلبه والله بما تعملون عليم
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang
siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya,
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283).
b. Hadist Nabi
Dari 'Aisyah r.a:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسلَّم
اشْتَرَىطَعَامًا مِنْ يَهُوْدِىِّ اِلَى اَجَلِ وَرَهَنَهُ دِرْعًامِنْ حَدِيْدٍ
"Sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari seorang
Yahudi secara bertempo dan beliau SAW menggadaikan baju perangnya yang terbuat
dari besi." (Muttafaqun 'alaih).
Dan juga hadits yang lain
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ :
قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا
كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ اَلدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا, وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ ) رَوَاهُ
اَلْبُخَارِيُّ
Dari Abu
Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah
mengeluarkan biaya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras
boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan
biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya
perawatannya (HR. Bukhori).
c.
Ijma ulama atas
hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai
Hal ini menjadikan adanya khilafah pada
beberapa ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan
gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.
d. Jumhur Ulama
Sedangkan
jumhur ulama memperbolehkan dalam bepergian atau dimana saja berdasar hadits
nabi yang melakukan transaksi gadai di Madinah. Sehingga
dapat disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam Islam
berdasarkan Al qur’an surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad saw, dan
ijma ulama[5].
2. Rukun Gadai (Rahn)
Dalam setiap transaksi
muamalah pastilah harus dipenuhinya rukun-rukun agar transaksi tersebut sah
secara syar’i. Maka rukun gadai sendiri adalah :
a) Orang
yang menggadaikan /orang yang menyerahkan barang jaminan (rahin)
b) Orang
yang menerima barang gadai (murtahin)
c)
Barang yang
dijadikan jaminan (borg/marhun).
d) Akad (ijab dan
qobul)
e)
Adanya hutang
yang dimiliki oleh penggadai.
Ulama Hanafiyah
berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan
barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan
memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiyah, agar
lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan
barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu
termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya[6].
3. Syarat Gadai (Rahn)
Setelah mengetahui Rukun gadai, maka dapat diketahui syarat
syarat gadai, yaitu :
a) Orang
yang menggadaikan dan yang menerima gadai adalah orang yang boleh melakukan
transaksi jual beli (baligh, berakal, sehat, kehendak sendiri).
b)
Bukan orang
gila dan anak-anak.
Menurut
Imam syafi’i, syarat-syarat gadai terbagi menjadi dua bagian: Pertama, syarat
yang menjadi keharusan, yaitu penyerahan barang yang digadaikan. Dengan
demikian, jika seseorang menggadaikan sebuah rumah, lalu dia tidak
menyerahkannya, maka akad tersebut batal.
Kedua,
syarat-syarat yang berkaitan dengan sahnya gadai, yaitu terdiri dari :
a)
Yang berkaitan
dengan akad, yaitu tidak tergantung pada suatu syarat yang tidak diperlukan
dalam akad ketika menyelesaikan hutang piutang, karena hal itu dapat
membatalkan gadai. Dan jika disyaratkan
sesuatu yang diperlukan dalam akad, maka yang demikian itu tidak membatalkan
akad.
b) Yang
berkaitan dengan kedua belah pihak yang melaksanakan akad, yaitu yang
menyerahkan dan yang menerima gadai. Syarat bagi keduanya adalah baligh dan
berakal. Dengan demikian, suatu akad tidak boleh dilakukan oleh orang gila,
anak-anak atau orang idiot[7].
3. Jenis-jenis Rahn
Rahn
yang diatur menurut prinsip syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:
-
Rahn
‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan
bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya,
namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi
gadai.
Contoh kasus : Andi memiliki hutang kepada Hani sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas
pelunasan hutang tersebut, Ansi menyerahkan
BPKB Mobilnya kepada Hani secara
Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan
kepada Hani, namun
mobil tersebut tetap berada di tangan Andi dan
dipergunakan untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang
berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil di maksud.
Konsep
ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara
Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep
Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda
tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan
masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
-
Rahn
Hiyazi
Bentuk
Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat
maupun dalam hukum positif. Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya
menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya
pun dikuasai oleh penerima gadai.
Sebagaimana
halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa
berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam
hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya,
maka penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya
perawatan dan pemeliharaannya.
Dalam
praktik, yang biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda bergerak,
khususnya emas dan kendaraan bermotor. Rahn dalam
Bank syariah juga biasanya diberikan sebagai jaminan atas Qardh atau pembiayaan
yang diberikan oleh Bank Syariah kepada Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan
bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti pembayaran uang sekolah, modal
usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampung pada waktu lebaran dan
lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat
diperpanjang atas permintaan nasabah[8].
4. Hak dan Kewajiban dalam Gadai
a.
Hak
penerima gada antara lain :
-
Apabila rahin
tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin berhak untuk
menjual Marhun
-
Untuk menjaga
keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang
dikeluarkan
-
Pemegang gadai
berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum
dilunasi
-
Jika
pemberi gadai meninggal, maka penerima gadai mempunyai hak
istimewa dari pihak-pihak yang lain dan boleh mendapat
pembayaran utang dari harta gadai itu
b.
Kewajiban
penerima Gadai antara Lain :
-
Apabila terjadi
sesuatu (Hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kesalahan, maka murtahin harus
bertanggung jawab
-
Tidak boleh
menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi
-
Sebelum
diadakan pelelangan marhun, harus ada pemberitahuan kepada rahin
c.
Hak
Pemberi Gadai (Rahin)
-
Setelah
pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada
murtahin
-
Apabila terjadi
kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut
ganti rugi atas marhun
-
Setelah
dikurangi biaya pinjaman serta biaya yang lainnya, rahin berhak menerima sisa
hasil penjualan marhun
-
Apabila
diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak untuk
meminta marhunnya kembali
d.
Kewajiban
pemberi Gadai antara Lain :
Melunasi
pinjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu yang
telah ditentukan. Apabila dalam jangka waktu yang telah
ditentukan rahin tidak dapat melunasi pinjamannya, maka harus merelakan atas
marhun pemiliknya kepada murtahin[9].
5.
Resiko
Kerusakan Marhun (barang gadai)
Dalam penyimpanan barang gadai, pastilah ada kemungkinan kerusakan pada
barang tersebut. Ulama’ berbeda pendapat atas tanggung jawab atas kerusakan
barang gadai tersebut, seperti :
a)
Menurut Ulama Hanafiyah,
murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau
kehilangan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan maupun
dengan sendirinya.
b)
Menurut Ulama
Syafi’iyah, murtahin menanggung resiko kehilangan, atau kerusakan marhun bila
marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin[10]
6.
Perjanjian dalam Transaksi
Gadai
Dalam transaksi gadai
ada beberapa macam perjanjian, seperti :
a.
Qard Al-Hasan
Akad
ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu nasabah (Rahin)
akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (Marhun) kepada
Pegadaian (Murtahin), adapun ketentuannya adalah:
-
Barang gadai
hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, barang elektronik,
dan lain sebagainya
-
Karena bersifat
sosial,
maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan untuk mengenakan
biaya administrasi kepada Rahin
b.
Mudharabah
Akad
yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk
pembiayaan lain yang bersifat produktif. Adapun ketentuannya adalah :
-
Barang gadai
dapat berupa barang-barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti emas,
elektronik, kendaraan bermotor, tanah, Rumah Dll.
-
Keuntungan
dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.
c.
Bad’I
Muwayyadah
Akad
ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif, seperti
pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan
akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin.
d.
Ijarah
Objek dari akad
ini pertukaran manfaat tertentu, bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat
penyimpangan barang.
7.
Pemanfaatan
Barang Gadai
Mayoritas
ulama membolehkan pegadaian memanfaatkan barang yang
digadaikannya selama mendapat izin dari murtahin selain itu pegadai harus
menjamin barang tersebut selamat dan utuh.
Dari
abu hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Barang yang digadaikan
itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah
keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian atau biaya” (HR. Syafi’I
dan Daruqutni).
Mayoritas
ulama, selain Madzab Hambali, berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak
boleh mempergunakan barang rahn.
Beberapa pendapat
mengenai pemanfaatan barang rahn, yaitu :
a. Jumhur
Fuqoha’berpendapat bahwa murtahin tidak diperbolehkan memakai barang gadai
dikarenakan hal itu sama saja dengan hutang yang mengambil kemanfaatan,
sehingga bila dimanfaatkan maka termasuk riba. Berdasar hadits nabi yang
artinya: “setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”(HR. Harits
Bin Abi Usamah).
b)
Menurut Ulama
Hanafi, boleh mempergunakan barang gadai oleh murtahin atas ijin rahin, dan itu
bukan merupakan riba, karena kemanfaatannya diperoleh berdasarkan izin dari
rahin.
c)
Menurut Mahmud
Shaltut, menyetujui pendapat dari Imam Hanafi dengan catatan: ijin pemilik itu
bukan hanya sekedar formalitas saja, melainkan benar-benar tulus
ikhlas dari hati saling pengertian dan saling tolong menolong.
d)
Menurut Imam
Ahmad, Ishak, Al Laits Dan Al Hasan, jika barang gadaian berupa barang gadaian
yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka
murtahin dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan
dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang
ternak itu ada padanya. Sesuai dengan hadits nabi yang artinya:”binatang
tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang
boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan dagi
orang yang memegang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”(HR. Bukhari)[11]
Dari keempat
pendapat di atas pada dasarnya memanfaatkan barang gadai tidak
diperbolehkan karena tindakan memanfaatkan barang gadai tak ubahnya qiradh dan
setiap qiradh
yang mengalir manfaat adalah riba. Akan tetapi jika barang yang digadaikan itu
berupa hewan ternak yang bisa diambil susunya atau ditunggangi dan pemilik
barang gadai memberi izin untuk memanfaatkan barang tersebut maka penerima
gadai boleh memanfaatkannya sebagai imbalan atas beban biaya pemeliharaan hewan
yang dijadikan marhun tersebut.
8. Berakhirnya Akad Rahn
Akad rahn ini akan berakhir apabila :
-
Barang telah
diserahkan kembali kepada pemiliknya
-
Rahin membayar
hutangnya
-
Pembebasan
hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin
-
Pembatalan oleh
murtahin meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin
-
Rusaknya barang
rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin
9. Hikmah Disyari'atkan Gadai:
Gadai disyari'atkan untuk memelihara harta agar tidak
hilang hak pemberi pinjaman. Apabila telah jatuh tempo, yang memberi jaminan
wajib membayar. Jika ia tidak bisa membayar, maka jika penggadai mengijinkan
kepada yang mendapat jaminan dalam menjualnya, ia menjualnya dan membayar
hutang. Dan jika tidak, penguasanya memaksanya membayarnya atau menjual barang
yang digadaikan. Jika ia tidak melakukan, niscaya penguasa/pemerintah
menjualnya dan membayarkan hutangnya.
Gadai adalah amanah di tangan penerima gadai
(kreditor) atau orang yang diberi amanah, ia tidak bertanggung jawab kecuali ia
melakukan tindakan melewati batas atau melakukan kelalaian.
Maka hukum akhir dari
gadai adalah diperbolehkannya dalam praktik muamalah. Hal itu sesuai dengan
perintah Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 283, yaitu untuk menjamin
kepercayaan sang penerima gadai dan menjaga pemberi gadai suatu saat jika
terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Karena inti dari gadai adalah tolong
menolong.
PERBEDAAN PEGADAIAN
KONVENSIONAL DENGAN PEGADAIAN SYARIAH
Kesamaan gadai konvensional dan syariah adalah
1.
Merupakan Perjanjian Acesoir
2.
Pembebanan dengan Benda Bergerak
3.
Tidak dapat Dibagi-bagi
4.
Mensyaratkan adanya penyerahan benda jaminan ke
penerima gadai/rahn
Perbedaan gadai konvensional dan syariah adalah
Gadai
Syariah:
a) Biaya pemeliharaan
dan penyimpanan berdasarkan nilai jaminan bukan pinjaman
b)
Akad berbasis syariah antara lain akad ijaroh.
c)
Tujuan pinjaman dana maupun sumber pelunasan
harus jelas sesuai syariah
d)
Nasabah mendapat kesempatan mencarikan calon
pembeli bila pila dana yang dipinjamn atas barang gadai tersebut
dieksekusi/penjualan jaminan.
e)
Kehalalannya harus berdasarkan Dewan Syariah
Nasional (DSN).
Gadai
Konvesional:
a)
Penetapan biaya berbasis bunga, ditentukan
berdasarkan besar kecil jumlah pinjaman.
b)
Akad perjanjian merupaka akad kredit dan gadai.
c)
Tujuan pinjaman maupun sumber pelunasan
diabaikan boleh sesuai syariah atau tidak sesuai.
Nasabah
tidak mendapat kesempatan pertama untuk mencarikan calon pembeli pada proses
eksekusi atau penjualan jaminan jika pinjaman tidak dapat dilunasi nasabah
[1]
Mariam Darus Badrul Zaman, dalam tesis Muklas , 2010, Implementasi
gadai syariah dengan
Akad murabahah dan Rahn
[3]
Dalam dwiajisapto PERBANDINGAN PEGADAIAN KONVENSIONAL DENGAN
PEGADAIAN SYARIAH.html
[4]
makalah gadai syariah _ dieyhylwa.html
[6]
Dalam jurnal
Universitas Sumatra Utara
[8]
Dalam FIQIH (MUAMALAH) “RAHN
(GADAI)” _ Tutorial Kang Asep.html
0 komentar:
Posting Komentar