web stats

rahn

Senin, 04 November 2013



1.      Latar Belakang
Lembaga Pegadaian di Indonesia sudah lama berdiri sejak masa kolonial Belanda. Untuk menekan praktek pegadaian illegal serta memperkecil lintah darat yang sangat merugikan masyarakat, maka pemerintah kolonial Belanda memonopoli usaha pegadaian dengan mendirikan jawatan pegadaian yang berada dalam lingkungan Kantor Besar Keuangan. Kemudian pada tahun 1930 dengan stbl. 1930 nomor 226. jawatan pagadaian itu diubah bentuknya menjadi Perusahaan Negara berdasarkan pasal 2 IBWI (donesche Bedrijven Wet) yang berbunyi : penunjukan dari cabang-cabang dinas negara Indonesia sebagai perusahaan negara dalam pengertian undang-undang ini, dilakukan dengan ordonansi.[1]
Pada saat ini gadai adalah hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari namun pada nyatanya masih banyak orang yang belum mengetahui hukum gadai dalam islam. Tuntutan hidup yang semakin keras membuat banyak orang memilih mendapatkan uang dan barang dengan cepat meski tidak mengetahui hukum-hukumnya dalam islam.
Pada makalah ini akan sedikit diuraikan mengenai gadai dalam perspektif Islam, dimana hal itu sangat diperlukan, mengingat sebagian besar warga Negara Indonesia adalah muslim.
2.      Rumusan Masalah
            Mengacu pada latar belakang diatas yang akan membahas mengenai gadai dalam perspektif syariah, maka perumusan masalah makalah ini adalah :
-         Apa pengertian gadai?
-         Bagaimana sejarah gadai syariah?
-         Apa saja hal-hal yang berhubungan gadai syariah?
-         Bagaimana perbedaan gadai konvensional dengan gadai syariah?
3.      Tujuan Penulisan
            Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah :
-         Agar memahami pengertian gadai.
-         Supaya mengetahui sejarah gadai syariah.
-         Untuk  mengetahui hal-hal yang berhubungan gadai syariah.
-         Agar memahami perbedaan gadai konvensional dengan gadai syariah.

PENGERTIAN GADAI KONVENSIONAL DAN SYARIAH
1.      Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu  hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya ada saat jatuh tempo.
Perusahaan umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk  melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke Masyarakat atas dasar hukum gadai.
Gadai sendiri memiliki arti yaitu memperkuat hutang dengan benda yang bisa membayarnya darinya, atau dari harganya, jika tidak bisa membayar dari jaminan peminjam.
2.      Pegadaian Syariah
Akad (transaksi) terbagi tiga:
a)      Transaksi yang pasti dari kedua belah pihak, seperti jual beli, sewa menyewa dan semisal keduanya.
b)      Transaksi yang boleh dari kedua belah pihak, bagi setiap orang dari keduanya, membatalkannya, seperti wakalah (perwakilan) dan semisalnya.
c)      Transaksi yang boleh dari salah seorang dari keduanya, tidak yang lain, seperti gadai, boleh dari pihak yang menerima gadai, pasti dari pihak yang menggadaikan (yang memberi jaminan kepada kreditor), dan semisal yang demikian itu yang hak padanya untuk satu orang atas yang lain.
Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah Rahn, yaitu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata Rahn secara etimologi berarti Tetap, Berlangsung, dan Menahan. Maka Dari segi bahasa Rahn bisa diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap.
Ar Rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya[2].
Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.
SEJARAH PEGADAIAN
1.      Sejarah Pegadaian Konvensional
Pegadaian dikenal mulai dari Eropa, yaitu negara Italia, Inggris, dan Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya Kolonial Belanda, yaitu sekitar akhir abad XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Leaning. Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaian. Pada awal abad 20-an pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan cara mengeluarkan staatsblad No.131 tahun 1901. Peraturan tersebut diikuti dengan pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah dan statusnya diubah menjadi Dinas Pegadaian sejak berlakunya staatsblad No. 226 tahun 1960.
Selanjutnya pegadaian milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli atas kegiatan pegadaian di Indonesia. Dinas pegadaian mengalami beberapa kali bentuk badan hukum sehingga akhirnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan umum. Pada tahun 1960 Dinas Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pegadaian. Pada tahun 1969 Perusahaan Negara Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Pegadaian, pada tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian melalui PP No. 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990. Pada waktu pegadaian masih berbentuk Perusahaan Jawatan, misi sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh manajemennya dalam mengelola pegadaian[3].
2.      Sejarahnya Pegadaian Syariah
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun terdapat beberapa aspek yang menolak anggapan itu.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah[4].

HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEGADAIAN SYARIAH
1.      Dasar hukum Gadai (Rahn)
a.       Al-Qur’an. Firman Allah SWT:
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمانته وليتق الله ربه ولا تكتموا الشهادة ومن يكتمها فإنه آثم قلبه والله بما تعملون عليم
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283).
b.      Hadist Nabi
Dari 'Aisyah r.a:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسلَّم اشْتَرَىطَعَامًا مِنْ يَهُوْدِىِّ اِلَى اَجَلِ وَرَهَنَهُ دِرْعًامِنْ حَدِيْدٍ
"Sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo dan beliau SAW menggadaikan baju perangnya yang terbuat dari besi." (Muttafaqun 'alaih).
Dan juga hadits yang lain
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ اَلدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya perawatannya (HR. Bukhori).
c.       Ijma ulama atas hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai
Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.
d.      Jumhur Ulama
Sedangkan jumhur ulama memperbolehkan dalam bepergian atau dimana saja berdasar hadits nabi yang melakukan transaksi gadai di Madinah. Sehingga dapat disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam Islam berdasarkan Al qur’an surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad saw, dan ijma ulama[5].


2.      Rukun Gadai (Rahn)
            Dalam setiap transaksi muamalah pastilah harus dipenuhinya rukun-rukun agar transaksi tersebut sah secara syar’i. Maka rukun gadai sendiri adalah :
a)      Orang yang menggadaikan /orang yang menyerahkan barang jaminan (rahin)
b)      Orang yang menerima barang gadai (murtahin)
c)      Barang yang dijadikan jaminan (borg/marhun).
d)      Akad (ijab dan qobul)
e)      Adanya hutang yang dimiliki oleh penggadai.
Ulama Hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiyah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya[6].


3.      Syarat Gadai (Rahn)
Setelah mengetahui Rukun gadai, maka dapat diketahui syarat syarat gadai, yaitu :
a)      Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai adalah orang yang boleh melakukan transaksi jual beli (baligh, berakal, sehat, kehendak sendiri).
b)      Bukan orang gila dan anak-anak.
Menurut Imam syafi’i, syarat-syarat gadai terbagi menjadi dua bagian: Pertama, syarat yang menjadi keharusan, yaitu penyerahan barang yang digadaikan. Dengan demikian, jika seseorang menggadaikan sebuah rumah, lalu dia tidak menyerahkannya, maka akad tersebut batal.
Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan sahnya gadai, yaitu terdiri dari :
a)      Yang berkaitan dengan akad, yaitu tidak tergantung pada suatu syarat yang tidak diperlukan dalam akad ketika menyelesaikan hutang piutang, karena hal itu dapat membatalkan gadai.  Dan jika disyaratkan sesuatu yang diperlukan dalam akad, maka yang demikian itu tidak membatalkan akad.
b)      Yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang melaksanakan akad, yaitu yang menyerahkan dan yang menerima gadai. Syarat bagi keduanya adalah baligh dan berakal. Dengan demikian, suatu akad tidak boleh dilakukan oleh orang gila, anak-anak atau orang idiot[7].

3.      Jenis-jenis Rahn
Rahn yang diatur menurut prinsip syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:
-         Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.
Contoh kasus : Andi memiliki hutang kepada Hani sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Ansi menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Hani secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Hani, namun mobil tersebut tetap berada di tangan Andi dan dipergunakan  untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil di maksud.
Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
-         Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif.  Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh penerima gadai.
Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.
Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor.  Rahn dalam Bank syariah juga biasanya diberikan sebagai jaminan atas Qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampung pada waktu lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah[8].

4.      Hak dan Kewajiban  dalam Gadai
a.      Hak penerima gada antara lain :
-         Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin berhak untuk menjual Marhun
-         Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang dikeluarkan
-         Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum dilunasi
-         Jika pemberi gadai meninggal, maka penerima gadai mempunyai hak istimewa dari pihak-pihak yang lain dan boleh mendapat pembayaran utang dari harta gadai itu
b.      Kewajiban penerima Gadai antara Lain :
-         Apabila terjadi sesuatu (Hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kesalahan, maka murtahin harus bertanggung jawab
-         Tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi
-         Sebelum diadakan pelelangan marhun, harus ada pemberitahuan kepada rahin
c.       Hak Pemberi Gadai (Rahin)
-         Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada murtahin
-         Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut ganti rugi atas marhun
-         Setelah dikurangi biaya pinjaman serta biaya yang lainnya, rahin berhak menerima sisa hasil penjualan marhun
-         Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak untuk meminta marhunnya kembali
d.      Kewajiban pemberi Gadai antara Lain :
Melunasi pinjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi pinjamannya, maka harus merelakan atas marhun pemiliknya kepada murtahin[9].

5.      Resiko Kerusakan Marhun (barang gadai)
Dalam penyimpanan barang gadai, pastilah ada kemungkinan kerusakan pada barang tersebut. Ulama’ berbeda pendapat atas tanggung jawab atas kerusakan barang gadai tersebut, seperti :
a)      Menurut Ulama Hanafiyah, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya.
b)      Menurut Ulama Syafi’iyah, murtahin menanggung resiko kehilangan, atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin[10]
6.      Perjanjian dalam Transaksi Gadai
Dalam transaksi gadai ada beberapa macam perjanjian, seperti :
a.       Qard Al-Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu nasabah (Rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (Marhun) kepada Pegadaian (Murtahin), adapun ketentuannya adalah:
-         Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, barang elektronik, dan lain sebagainya
-         Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada Rahin

b.       Mudharabah
Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Adapun ketentuannya adalah :
-         Barang gadai dapat berupa barang-barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, Rumah Dll.
-         Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.

c.       Bad’I Muwayyadah
Akad ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif, seperti pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin.
d.      Ijarah
Objek dari akad ini pertukaran manfaat tertentu, bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpangan barang.

7.      Pemanfaatan Barang Gadai
Mayoritas ulama membolehkan pegadaian memanfaatkan barang yang digadaikannya selama mendapat izin dari murtahin selain itu pegadai harus menjamin barang tersebut selamat dan utuh.
Dari abu hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian atau biaya” (HR. Syafi’I dan Daruqutni).
Mayoritas ulama, selain Madzab Hambali, berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak boleh mempergunakan barang rahn.
Beberapa pendapat mengenai pemanfaatan barang rahn, yaitu :
a.       Jumhur Fuqoha’berpendapat bahwa murtahin tidak diperbolehkan memakai barang gadai dikarenakan hal itu sama saja dengan hutang yang mengambil kemanfaatan, sehingga bila dimanfaatkan maka termasuk riba. Berdasar hadits nabi yang artinya: “setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”(HR. Harits Bin Abi Usamah).
b)      Menurut Ulama Hanafi, boleh mempergunakan barang gadai oleh murtahin atas ijin rahin, dan itu bukan merupakan riba, karena kemanfaatannya diperoleh berdasarkan izin dari rahin.
c)      Menurut Mahmud Shaltut, menyetujui pendapat dari Imam Hanafi dengan catatan: ijin pemilik itu bukan hanya sekedar formalitas saja, melainkan benar-benar tulus ikhlas dari hati saling pengertian dan saling tolong menolong.
d)      Menurut Imam Ahmad, Ishak, Al Laits Dan Al Hasan, jika barang gadaian berupa barang gadaian yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka murtahin dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Sesuai dengan hadits nabi yang artinya:”binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan dagi orang yang memegang yang memegang dan meminumnya  wajib memberikan biaya”(HR.  Bukhari)[11]
Dari keempat pendapat di atas pada dasarnya memanfaatkan barang gadai  tidak diperbolehkan karena tindakan memanfaatkan barang gadai tak ubahnya qiradh dan setiap qiradh yang mengalir manfaat adalah riba. Akan tetapi jika barang yang digadaikan itu berupa hewan ternak yang bisa diambil susunya atau ditunggangi dan pemilik barang gadai memberi izin untuk memanfaatkan barang tersebut maka penerima gadai boleh memanfaatkannya sebagai imbalan atas beban biaya pemeliharaan hewan yang dijadikan marhun tersebut.
8.      Berakhirnya Akad Rahn
Akad rahn ini akan berakhir apabila :
-         Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya
-         Rahin membayar hutangnya
-         Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin
-         Pembatalan oleh murtahin meskipun  tidak ada persetujuan dari pihak rahin
-         Rusaknya barang rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin
9.      Hikmah Disyari'atkan Gadai:
Gadai disyari'atkan untuk memelihara harta agar tidak hilang hak pemberi pinjaman. Apabila telah jatuh tempo, yang memberi jaminan wajib membayar. Jika ia tidak bisa membayar, maka jika penggadai mengijinkan kepada yang mendapat jaminan dalam menjualnya, ia menjualnya dan membayar hutang. Dan jika tidak, penguasanya memaksanya membayarnya atau menjual barang yang digadaikan. Jika ia tidak melakukan, niscaya penguasa/pemerintah menjualnya dan membayarkan hutangnya.
Gadai adalah amanah di tangan penerima gadai (kreditor) atau orang yang diberi amanah, ia tidak bertanggung jawab kecuali ia melakukan tindakan melewati batas atau melakukan kelalaian.
            Maka hukum akhir dari gadai adalah diperbolehkannya dalam praktik muamalah. Hal itu sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 283, yaitu untuk menjamin kepercayaan sang penerima gadai dan menjaga pemberi gadai suatu saat jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Karena inti dari gadai adalah tolong menolong.

PERBEDAAN PEGADAIAN KONVENSIONAL DENGAN PEGADAIAN SYARIAH
Kesamaan gadai konvensional dan syariah adalah
1.      Merupakan Perjanjian Acesoir
2.      Pembebanan dengan Benda Bergerak
3.      Tidak dapat Dibagi-bagi
4.      Mensyaratkan adanya penyerahan benda jaminan ke penerima gadai/rahn
Perbedaan gadai konvensional dan syariah adalah
Gadai Syariah:
a)      Biaya pemeliharaan dan penyimpanan berdasarkan nilai jaminan bukan pinjaman
b)      Akad berbasis syariah antara lain akad ijaroh.
c)      Tujuan pinjaman dana maupun sumber pelunasan harus jelas sesuai syariah
d)      Nasabah mendapat kesempatan mencarikan calon pembeli bila pila dana yang dipinjamn atas barang gadai tersebut dieksekusi/penjualan jaminan.
e)      Kehalalannya harus berdasarkan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Gadai Konvesional:
a)      Penetapan biaya berbasis bunga, ditentukan berdasarkan besar kecil jumlah pinjaman.
b)      Akad perjanjian merupaka akad kredit dan gadai.
c)      Tujuan pinjaman maupun sumber pelunasan diabaikan boleh sesuai syariah atau tidak sesuai.
Nasabah tidak mendapat kesempatan pertama untuk mencarikan calon pembeli pada proses eksekusi atau penjualan jaminan jika pinjaman tidak dapat dilunasi nasabah


[1] Mariam Darus Badrul Zaman, dalam tesis Muklas , 2010, Implementasi gadai syariah dengan Akad murabahah dan Rahn
[3] Dalam dwiajisapto  PERBANDINGAN PEGADAIAN KONVENSIONAL DENGAN PEGADAIAN SYARIAH.html
[4] makalah gadai syariah _ dieyhylwa.html
[5] Ringkasan Fiqih Islam (4). Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri. 2009 – 1430 H
[6]             Dalam jurnal Universitas Sumatra Utara
[8] Dalam FIQIH (MUAMALAH) “RAHN (GADAI)” _ Tutorial Kang Asep.html
[9] www.badilag.com kompilasi hukum ekonomi syariah

0 komentar:

Posting Komentar