web stats

makalah

Selasa, 28 Mei 2013



1.      Latar Belakang
Pemahaman penafsiran terhadap teks tidak hanya menjadi perhatian ilmu pengetahuan, tetapi merupakan bagian dari seluruh pengalaman manusia tentang dunia. Memahami tradisi tidak hanya melzlui teks-teks, tetapi wawasan juga harus diperoleh dan kebenaran-kebenaran harus diakui. Ilmu pengetahuan modern yang memiliki posisi dominan dalam penjelasan dan pembenaran terhadap konsep pengetahuan. Sebagai sebuah pendekatan, akhir-akhir ini hermeneutika semakin diminati oleh para peneliti akademis, kritikus sastra, sosiolog, sejarawan, antropolog, filosof, maupun teolog, khususnya untuk mengkaji, memahami, dan menafsirkan teks (scripture), misalnya: Injil atau Al-Qur’an.
Banyak tokoh yang mempelajari hermeneutik ini, semisal : Schleiermacher, Wihelm Dilthey, Martin Heideger, H. G. Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, Jacques Derrida[1].
Hermeneutik merupakan teori atau filsafat pandangan teoretis makna. Seperti metode-metode lain, hermeneutika tidak muncul tanpa sebab, ada lingkungan yang ikut mempengaruhi kemunculan hermeneutika serta membentuk konsepnya.
Dari sini, maka penulis ingin sedikit mengulas tentang makna dari hermeneutik tersebut. Karena hermeneutik sendiri telah menjadi metodologi ilmu.

2.      Rumusan Masalah
-          Bagaimana sejarah munculnya hermeneutik ?
-          Apa hermeneutik itu ?
-          Bagaimana hermeneutik dalam Islam ?

3.      Tujuan Penulisan
-          Agar memahami sejarah munculnya hermeneutik.
-          Untuk mengetahui arti hermeneutik.
-          Agar mengetahui hermeneutik dalam Islam.


A.     Sejarah Munculnya Hermeneutik
Dalam analisis Werner, ada tiga lingkungan yang mendominasi pengaruh pada  pembentukan hermeneutika hingga sekarang, yaitu :
·       Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani.
·       Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab “suci” agama mereka.
·       Masyarakat Eropa zaman pencerahan (Enlightenment) yang berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan[2].
Metode hermeneutika secara sederhana merupakan pemindahan fokus penafsiran dari makna bawaan sebuah teks kepada makna lain yang lebih dalam.
Dalam perkembangan selanjutnya, makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana cara memahami realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Satu masalah yang selalu dimunculkan adalah perbedaan antara bahasa teks serta cara berpikir masyarakat kuno dan modern.
Friederich Ast membagi pemahaman teks menjadi tiga tingkatan, yaitu :
a.       Pemahaman historis, yaitu pemahaman berdasarkan perbandingan satu teks dengan yang lain.
b.       Pemahaman tata-bahasa dengan mengacu pada makna kata teks.
c.       Pemahaman spiritual, yaitu pemahaman yang merujuk pada semangat, mental dan pandangan hidup sang pengarang terlepas dari segala konotasi teologis ataupun psikologis[3].

B.     Hermeneutik
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan[4]. Dalam tradisi yunani kuno hermeneuein dan hermeneia dipakai dalam tiga makna, yaitu :
·         Mengatakan, to say,
·         Menjelaskan, to explain,
·         Mengartikan, to translate
Hermeneutik merupakan kajian mengenai pemahaman, terlebih dalam hal teks. Hermeneutik dapat pula diartikan penafsiran. Dimana mencari hal-hal apa yang dibutuhkan untuk menghindari pemahaman yang salah dari teks. Pada awal kemunculannya, hermeneutik hanya digunakan oleh para agamawan, dimana hal ini diperuntukkan untuk memahami teks-teks dari kitab suci dan dilakukan oleh agamawan kristiani. Namun di masa ini, hermeneutik belum mencapai corak filosofis.
Hermeneutika  mengalami  perluasan  dan  pergeseran  makna,  dari  yang semula  merupakan  istilah  dalam  kajian  teologi menjadi  semakin  luas  hingga meliputi  berbagai  disiplin  pengetahuan,  seperti  sejarah, sosiologi, antropologi, estetika, kritik sastra dan lainnya.
Pendekatan  hermeneutika,  umumnya  membahas  pola  hubungan  segitiga, yaitu antara teks, pembuat teks dan  penafsir atau pembaca. Seorang penafsir  dalam memahami  sebuah  teks (teks  kitab  suci atau  teks  umum)  dituntut  untuk  tidak hanya sekedar melihat  apa yang  ada  pada  teks,  tetapi  lebih  kepada  apa  yang  ada  dibalik  teks tersebut. Hermeneutik menjelaskan makna yang sesungguhnya, sehingga mengurangi keberagaman makna dari teks atau simbol. Dan hermeneutik memiliki hubungan yang sangat erat dengan bahasa.
Bagi para penganut ajaran hermeneutika, dunia ini merupakan sumber pengetahuan mendasar dan terpenting. Namun, pemikir barat yang mengikuti faham empirisme beranggapan bahwa pengetahuan objektif yang menentukan pemahaman atas dunia ini. Penganut hermeneutika dalam mempelajari perilaku manusia mencari sudut pandang yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan paling mendasar. Mereka kurang sepakat dengan konsep perspektif objektif, sebab objektifitas adalah abstraksi dan pengurangan dari dunia sebenarnya.
Beberapa prinsip faham hermeneutika :
·       Bila kaum strukturalis fokus pada struktur, kaum hermeneutika lebih pada makna (makna ada pada bahasa sebuah tradisi). Pandangan ini bertentangan dengan pandangan fenomenologis (pandangan akan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului filsafat) bahwa makna ada pada kesadaran seseorang.
·       Bahasa adalah pusat kekuatan manusia. Tanpa bahasa tidaklah mungkin memahaminya. Ini sesuai dengan ungkapan lama zoon logon echon, bahwa manusia sebagai makhluk berbicara. Serta dengan pepatah Arab al-Insan hayawan naathiq.
·       Hermeneutika menakankan pemahaman dan komunikasi. Berupaya lewat bahasa untuk mendapatkan pemahaman berjamaah atau bersama. Kuncinya adalah pemahaman terhadap teks. Bagaimana memahami problem dalam konteks masa kini, perihal sesuatu yang tertulis dalam teks tradisional yang jauh berbeda dalam ruang dan waktu.
·       Dalam tradisi hermeneutika, subjek dan objek tidak dipisahkan tetapi terlibat dalam hubungan komunikatif. Susunan makna berdasar pada intersubjektivitas dan dalam konteks tempat kejadian fenomena. Subjektivitas yang dialami bersama secara kolektif jauh lebih bernilai daripada kesimpulan subjektif dan idiosinkratik (hal yang menjadikan sesuatu berlainan).
Manusia dapat mencapai puncak krativitasnya melalui bahasa, antara  lain dengan menulis  dan membaca.  Penulisan  suatu  teks  inilah  yang  nantinya akan mengantarkan  pada  pencipta  karya  satra,  dimana  di  dalam  karya  tersebut mengandung banyak pengalaman dan  tanda-tanda yang dituliskan  sang penulis. Untuk memahaminya, bukan berarti si pembaca harus kembali pada masa lampau, melainkan harus memiliki keterlibatan masa kini atas apa yang tertulis.
Hermeneutika dapat dipilih dalam tiga katagori: sabagai filsafat, sebagai kritik, dan sebagai teori.
-          Hermeneutika Teoritis. Adalah bentuk hermeneutika yang menitik beratkan kajiannya pada problem “pemahaman” yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki teks. Oleh karena itu tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, makna hermeneutika model ini dianggap juga hermeneutika romantik yang bertujuan untuk “merekonstruksi makna”.
-          Filsafat. Hermeneutika tumbuh sebagai aliran pemikiran yang menempati tempat strategis dalam diskursi filsafat. Problem utamanya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Hermeneutika ini digagas oleh Gadamer, menurut Gadamer hermeneutika berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori pendapat.
-          Kritik, hermeneutika memberi reaksi keras terhadap berbagai asumsi idealis yang menolak pertimbangan ekstralinguistik sebagai faktor penentu konteks pikiran dan aksi. Ini dipelopori oleh Habermas. Sebagai teori, hermeneutika berfokus pada problem di teori interpretasi, bagaimana menghasilkan interpretasi dan standarisasinya. Asumsinya adalah bahwa sebagai pembaca, orang tidak punya akses pada pembuat teks karena perbedaan ruang dan waktu, sehingga diperlukan hermeneutika[5].

C.     Teori-teori Hermeneutik
-          Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher
Poin penting lain dalam pemikiran universal hermeneutics Schleiermacher adalah persamaan sikap atau perlakuan antara Bibel dengan teks karya manusia. Karena permasalahan tidak terletak pada materi akan tetapi cara memahaminya. Sebagai konsekuensinya, kajian filologi teks dan teologi dalam Bibel disubordinasikan kepada problem penafsiran yang umum.
Dalam pembacaan teks, Schleiermacher berpendapat bahwa interpretasi dapat dicapai dengan dua cara, yaitu ketata-bahasaan dan psikologis. Interpretasi tata-bahasa berfungsi untuk menyingkap arti sebuah kata dan interpretasi psikologis berfungsi untuk mengetahui motif pengarang ketika menulis teks tersebut.
-          Wilhelm Dilthey
Dilthey membagi pemahaman menjadi tiga tingkat :
·         Pemahaman sebagai menangkap sebuah makna dengan melalui tanda yang menunjukkan atau mewakili apa yang dimaksud.
·         Nacherleben, menyingkap kembali perasaan dan pengalaman yang dipercayai telah dialami oleh pengarang dengan berdasarkan pengalaman yang terwujudkan dalam ungkapan yang dapat diakses.
·         Besserverstehen. Di tingkatan inilah seorang penafsir dapat memahami maksud sebenarnya seorang pengarang. Makna dalam tingkatan ini adalah asumsi bahwa makna dalam konteks, signifikansi dan implikasi sebuah pernyataan, tindakan atau peristiwa tidak pernah bisa tetap dan sempurna.
-          Mohamed Arkoun
Arkoun berpandangan bahwa banyak hal yang terdapat dalam Islam yang unthinkable (tak terpikirkan) karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Sebagai contohnya adalah mushaf Utsmani yang ia anggap sebagai representasi unthinkable. Arkoun menganjurkan free thinking (berpikir liberal) untuk mengubah unthinkable menjadi thinkable. Ia beralasan bahwa free thinking merupakan respon terhadap dua kebutuhan utama, pertama, umat Islam perlu memikirkan masalah-masalah yang tak terpikirkan sebelumnya dan kedua, umat Islam perlu membuka wawasan baru melalui pendekatan sistematis lintas budaya terhadap masalah-masalah fundamental.

-          Nasr Hmid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd memilih untuk mengaplikasikan metode analisis teks bahasa-sastra. Abu Zayd berpijak pada pendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran menggunakan bahasa manusia. Karena itu ia tak lebih dari teks-teks karangan manusia biasa. Ia juga mengkritik paradigma penafsiran yang dipakai oleh para ulama, menurutnya muatan metafisis yang selalu tercamkan dalam benak mereka tidak mendorong pada sikap ilmiah.


D.     Hermeneutik dalam Islam
Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode tafsir al-Quran menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para ulama. Namun tentu saja, ide tersebut harus ditelaah dan dikritisi. Para filosof muslim tidak secara langsung mengambil filsafat Aristoteles atau Plato, akan tetapi mengkritisi bahkan memodifikasinya. Mereka menerima selama itu sesuai dengan akidah dan syariat Islam.
Dalam konteks penafsiran terhadap al-Quran, Penggunaan hermeneutika dalam dunia penafsiran al Quran adalah hal baru yang belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam tradisi keilmuwan Islam telah dikenal ilmu tafsir yang berfungsi untuk menafsirkan al-Quran, sehingga ilmu ini dianggap telah mapan dalam bidangnya. Dari segi epistemologi dan metodologi ilmu ini telah diakui mampu mengembankan tugasnya untuk menggali kandungan al Quran.
Pada awal abad ke-20 beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh dalam tafsirnya al Manar telah menggunakan ilmu ini dalam praktek penafsiran ayat-ayat al Quran, yang walaupun  belum secara tegas memproklamirkan penggunaan hermeneutika dalam penafsiran. Penggunaan ilmu ini secara terang-terangan baru dilakukan pada tahun tujuh puluhan abad 20.
Upaya belajar dari hasil pencapaian penganut hermeneutika Barat tidak berarti mengadopsi dan mengaplikasikannya secara total dengan meninggalkan karakter khusus teks-teks Islam terutama Al-Qur’an. Berbeda dengan hermeneutik Barat yang bermula dari masalah teks asli injil, maka para hermeneut muslim mampu berangkat dari teks Al-Qur’an yang tidak mempunyai masalah serupa. Begitu juga jika hermeneutik Barat berusaha menciptakan makna yang lebih baik dari kehendak pengarang, maka dalam konteks Al-Qur’an tidak ada makna yang lebih baik dari apa yang dikehendaki Tuhan.
Hermeneutika dalam hal ini adalah teori interpretasi yang hanya dapat digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi. Sebab tak mungkin kita menyelidiki sisi psikologis Tuhan sesuai konsep Schleiermacher contohnya. Atau menelusuri komponen sejarah yang mempengaruhi Tuhan, seperti teori Dilthey. Sedang konsep al-Quran, wahyu dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari Allah Swt. Konsekuensinya, konsep Hermeneutika tidak dapat diterapkan atas Al-Quran.
Karena itu para pemikir hermeneutika diharuskan menyusun kembali konsep yang sudah ada tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengurangi nilai ilahiah dalam al-Quran dan menegaskan bahwa unsur-unsur manusiawi telah tercampur di dalamnya. Jika proyek dekonstruksi ini berhasil, maka jalan bagi penerapan hermeneutika atas al-Quran akan terbuka lebar.
Jika dibandingkan antara tafsir dan hermeneutika, tafsir lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut diteruskan melalui jalur riwayat yang jelas. Rasulullah Saw menjelaskan arti ayat dengan hak yang diberikan oleh Allah Swt kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan jalur riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk penyusunan/ pembukuan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir.
Epistemologi (batas-batas pengetahuan) dalam Islam berbeda dengan epistemologi barat. Dalam Islam sumber inspirasi tidak hanya akal. Karena akal manusia mempunyai keterbatasan. Al Quran banyak menyebutkan peristiwa yang tidak bisa diterima oleh akal. Dan hal ini tidak pernah terlintas dalam pemikiran para pakar hermeneutika. Misalnya ceritera kapalnya nabi Nuh, nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar, nabi Musa yang dapat membelah laut, Isra dan mi’rajnya nabi Muhammad SAW dan banyak lagi.
Pesan-pesan ideal sesungguhnya terkandung didalam ungkapan verbal al-Qur’an atau hadist itu adalah jauh lebih luas dari pada makna harfiahnya. Keluasan makna itu tidak mungkin ditangkap oleh mufassir dan mujtahid manapun. Oleh karena itu konsep pemahaman al-Qur’an maupun hadis tidak pernah dianggap final dan memiliki kebenaran mutlak. Teks-teks syariat tersebut senantiasa terbuka untuk dibaca dan di tafsirkan kembali guna mendapatkan konsep pemahaman yang lebih baik sesuai dengan cita-cita sosiomoral dan kebutuhan historisnya.
Sedangkan penggunaan hermeneutika dalam dunia keilmuwan Islam digunakan bukan untuk mencari keotentikan teks al Quran, akan tetapi untuk mencari penafsiran yang paling mendekati kebenaran. Dan kebenaran dari suatu tafsir hanya Allah yang mengetahui (sehingga seorang mufassir sehebat apapun akan berkata Wallahu a’lam).


1.         Kesimpulan
Hermeneutika merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna tersebut. Oleh karena itu memahami itu artinya memahami melalui bahasa. Bahasa dilihat sebagai faktor fundamental dalam eksistensi manusia dalam menghayati keberadaannya di dunia. Dengan bahasa manusia bias menjelaskan, memahami, dan menggambarkan realitas dunianya. Bahasa menjadi medium untuk hal-hal ini. Bahasa mengandung unsur keterbukaan untuk berdialog dengan tradisi dan dapat membuka cakrawala pemahaman yang lebih luas.
Dewasa ini, muncul upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai metode tafsir al-Quran menggantikan metode yang telah dirumuskan oleh para ulama. Namun tentu saja, ide tersebut harus ditelaah dan dikritisi. Para filosof muslim tidak secara langsung mengambil filsafat Aristoteles atau Plato, akan tetapi mengkritisi bahkan memodifikasinya. Mereka menerima selama itu sesuai dengan akidah dan syariat Islam.


2.         Saran
Sebagai manusia yang mampu berfikir, sudah sewajarnya untuk tidak terlalu bebas dalam menafsirkan makna-makna yang ada dalam kitab suci. kita harus tetap berpegang pada makna harfiahnya.
Demikian makalah yang dapat penulis sajikan, kritik dan saran yang konstruktif sangatlah penulis harapkan demi tercapainya suatu makalah yang baik. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat memperkaya khazanah Intelektual.
Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih.


Daftar Pustaka
Akmal Bashori. 2013. Pendekatan Hermeneutik.Pdf
Angga Prilakusuma. 2012. pendekatan hermeneutik.pdf
                    . 2012. pendekatan hermeneutik. dalam http://jagadkawula.blogspot.com/2012/11/pendekatan-hermeneutika-dalam.html diakses pada 17 April 2013


[1] Akmal Bashori. 2013. Pendekatan Hermeneutik.Pdf
[2] Angga Prilakusuma. 2012. pendekatan hermeneutik.pdf
[3] ibid 2
[5] Kurdi (dalam Akmal Bashori. 2013)

0 komentar:

Posting Komentar