Langit
hari ini mendung, semendung perasaan Fa. Sedari 20 menit yang lalu ia terus
memandang undangan sebuah pameran. Ia menghadap jendela, meraba perasaannya.
Shanty
dating dan menepuk pundaknya,
“Ngelamunin
apa sih.” Fa mendongak, ia menggeleng.
“Kok
gitu. Oh iya, kamu kenal sama Devan.”
“Enggak.”
“Kok
undangannya sampai ke kamu. Sadder dong, ini Surabaya dan Devan di Jakarta.
Kalau nggak kenal pasti nggak bakalan dapat undangannya. Lagian, Devan kan
orang hebat.”
“Memangnya
kamu tahu kayak apa Devan itu.”
“Ya
tahu dari majalah bisnis doang sih. Mang kamu tahu.”
“Tahu
dong. Majalah banyak mampangin infonya. Hehehehe.”
“Hehm,
sama aja. Tapi menurutku kamu kenal.”
“Mungkin
Devan tertarik sama resto ini.”
“Hehm,
di sanakan masih banyak resto yang lebih baik. Ada-ada kamu ini.”
“Mungkin
aja dong.”
“Jadi
ikut.”
“Mungkin.
Kalau iya aku akan berangkat lusa. Aku sudah kangen sama ayah ibu.”
“okey.
Met have fun aja. Urusan resto biar aku yang handle.”
Kini
ganti Fa yang menepuk bahu Shanty dan menuju mobilnya. Ia memutuskan pulang ke
rumah. Sesampai di rumah, Fa masih saja membawa undangan pameran Devan yang
Nampak elegant. Pikirannya melayang. Terlihat ada gurat sedih, pilu dan bingung.
“Devan…
exhibition. Tgl 17-20 april. 17th silver gallery. Di graha bagaskara
no 11. Silver gallery… apa ini gallery
warna milik tante Devan yang dulu itu. Ah, kenapa aku memikirkannya. Tidak
seharusnya aku begini. Tapi kenapa harus silver. Warna kesukaan aku dan Devan.
Apa ini disengaja. Ah, bodoh amat. Devan pasti sudah melupakanku. Undangan ini
saja dari Eva. Aku memang yang salah, bukan sahabat yang baik.” Fa menunduk.
Air matanya jatuh, juga undangan yang sedari tadi dibawanya.
“Maafkan
aku…” gumamnya.
“Bagaimana
persiapan pamerannya, An.” Tanya Devan yang masih mengenakan jas kerjanya saat di gallery silver miliknya pemberian
tante riska, adik papanya.
“Sudah
hamper selesai. Tinggal menghubungi pihak cattering untuk tamu khusus. Dan bisa
dipastikan, saat pembukaan, semuanya sedah beres.” Kata Andi, sang asisten
gallery silver sekaligus teman SMAnya dulu.
“Bagus, aku percayakan padamu. Oh ya, foto Cinta jangan lupa
ditempatkan di ruang paling pojok. Aku ingin itu Nampak special. Okey.”
“Sip.”
“Dan juga, tempat jamuannya di lantai 3.”
“Okey.”
“Kau harus ekstra bekerja. Maaf.”
“Hey, kita kan teman, aku juga asistenmu. Dan aku tahu kau
sibuk Devan, sudahlah santai saja.”
“Thank’s.”
“Hey, jangan lupa titip salam untuk Cinta ke Ananda.”
“Oh oh, kau benar-benar menyukai Nanda.”
“Ya begitulah. Meski dia masih SMA namun mempesona.”
“Dan kau harus siap jadi iparku nanti.”
“Hal mudah itu.”
“Okey.. aku cabut dulu.”
“Selamat
malam.” Sapa Devan sesampai di rumah.
Lalu
mamanya keluar.t “Larut sekali. Dari
mana saja, Dev.”
“Mengurusi
pameran, ma. Ifan mana.”
“Sudah
tidur dejak jam 9 tadi.”
“Oh…
mama tidak tidur. Sudah larut gini.”
“Iya,
mama baru saja bangun kok. Haus. Kau cpat tidur. Semingggu ini kau jarang
tidur. Hati-hati sakit. Ya.”
“Okey.
Salamat malam. Have a nice dream.” Devan mencium pipi mamanya.
Sebelum
kekamarnya, Devan ke kamar Ifan terlebih dulu. Membenarkan letak selimut Ifan.
Dan sebelum keluar ia cium kening adik tunggalnya itu.
Devan
memutuskan mandi terlebih dahulu, lalu tidur. Devan memandang foto Cinta yang
ia letakkan di meja sebelah ranjang.
“Selamat malam Cinta, semoga mimpi
indah.”
Fa mengemasi barang yang akan
dibawanya ke Jakarta, 2 potong baju, kamera DSRL dan laptop. Besok ia akan
berangkat lebih cepat sehari dari rencana. Urusan restonya telah ia serahkan
pada Shanty. Fa membuka laci dekat kasurnya. Ia mengambil foto SMAnya dulu.
Disana ada Fa, Devan dan Didi. Mereka sedang tertawa lepas dan bergandengan
tangan. Namun sayang, kini Didi tidak
ada di dunia lagi, ia meninggal karena kecelakaan sebulan sesudah wisuda.
“Kamu
berhasil, Dev.”
Lalu
ponselnya berdering. Ayah.
“Hallo,
ada apa yah.”
“Kesini
kapan.”
“Besok
pagi. Ada apa.”
“Hati-hati
di jalan ya. Naik pesawatkan.”
“Iya.”
“Yasudah,
istirahat saja. Sudah malam.”
“Iya.”
Esoknya,
Fa berangkat ke Jakarta pukul 08.35. sesampai di bandara Soekarno-Hatta, ia
langsung menyetop taksi.
“Istirahat
saja dulu. Sudah sarapan kan.”
“Sudah
kok. Ayah mau kemana.”
“Kerjalah.
Oh iya, nanti kalau adek-adek pulang bilang ibu masih di rumah bu Eka. Ada
makanan di meja makan.”
“Baik
yah. Hati-hati di jalan.”
Ayah
mengangguk lalu pergi. Lalu Fa naik ke kamarnya di lantai 2.
Fa
memandang keluar jendela. “Ternyata Jakarta masih sama. Apa… semuanya juga
tetap. Aku 6 tahun tidak kesini.” Lalu ia menunduk sebent dan merebahkan tubuh
ke kasur.
Sesudah
makan malam, Fa mendekam di kamar. Ia membongkar lemarinya. Ia menemukan kotak
hitam berukuran sedang. Ia buka, ada buku arsitektur dan management terbitan 7
tahun yang lalu. Buku itu awalnya untuk Devan, namun urung karena ponsen Devan
tidak aktif sebelum ia pergi ke
Surabaya.
Fa
mendekap buku itu. “Apa kau marah padaku, Dev. Apa kita masih bisa bersahabat
lagi seperti dulu. Bukan sekarang ini. Bagaiman masa depan kita.” Fa kembali
menunduk dan air matanya kembali menetes.
Lalu
Shanty menelepon.
“Aada
apa.”
“Bagaimana,
enak di sana.”
“Sangat
enak. Aku terlalu rindu pada keluarga. Bagaiman restonya.”
“Tenang
saja, semuanya beres.”
“Sip,
kau memang bisa diandalkan.”
“Ya
sudah, ternyata kau selamat sampai di sana. Bye.”
“Bye.”
Shanty
adalah satu-satunya teman dekat Fa di Surabaya. Sama-sama penyuka masak dan
wisata kuliner. Jadi Fa mengajak Shanty join membuka resto dan kini sudah
memiliki 4 cabang.
Fa
lalu memasukkan kembali kotak hitam dan itu dan memutuskan untuk tidur.
Tubuhnya lelah, tadi sesudah istirahat sebentar lalu membersihkan rumah. Ibu
massih sibuk dan tidak sempat bersih-bersih. Maka tidur Fa kali ini terasa
tenang.
Cinta
keluar dari Setiabudi Building, sehabis menemui papanya. Lantas ia menuju
kantor Devan dengan membawa bingkisan berisi soto Lamongan kesukaan Devan. Ia
bingung. Devan tidak punya darah jawa timur dan jawa tengah sama sekali, namun
ia sangat suka soto Lamongan. Tapi saat ditanya kenapa, Devan hanya tersenyum
dan Cinta tidak lagi membahasnya. Menurutnya, suka tidak perlu ada alasannya.
“Selamat
siang, menganggu.”
Devan
mendongak. “Oh, tidak. Duduk.”
“Ini
soto kesukaanmu. Makanlah, aku tahu kau tadi tidak sempat sarapan. Mama
meneleponku.”
“Aku
buru-buru, jadi tidak sempat.”
“Kau
bisa sakit kalau begini, Dev.”
“Iya
aku tahu. Nanti ku makan.”
“Sekarang.
Apa perlu aku suapin.”
“Baiklah,
tapi bisa bantu aku.”
“Apa.”
“Tolong
ketikkan ini selagi aku makan. Boleh.”
“Okey.”
Cinta
sibuk mengetik, Devan makan.
“Cin.”
“Iya.
Apa.”
“Maaf
ya ngerepotin.”
Cinta
mengangguk dan tersenyum manis.
“Kau
sudah makan.”
“Sudah
tadi sama papa sebelum kesini.”
Devan
mangut-mangut.
“Belum
pulang, Dev.”
Devan
mendongak. Eva.
“Oh,
kamu. Belum, masih ada yang perlu ku selesaikan.”
“Kau
bekerja terlalu berat. Kau butuh sedikit refreshing sobat.”
Devan
hanya tersenyum masam. Bisakah.
“Siapa
lagi yang akan melakukan ini jika bukan aku.”
“Tapikan
tidak usah terlalu. Kan masih ada aku, Rangga. Aku kasihan melihatmu sering
lembur.”
“Aku
menikmatinya kok. Oh ya, bagaimana undangannya. Beres..”
“Ya,
tapi tinggal satu.”
“Siapa.”
“Yang
special for you. Cinta. Kau harus memberikannya sendiri. Dan… lebih baik kau
memberinya kado.”
“Hehm….
Okey. Betul juga kamu. Bunga dan coklat kesukaan Cinta. Thank’s, tanpa kamu,
mungkin Cinta akan bosan jalan denganku.”
“Teman.
Itulah gunanya. Mengingatkan. Oh iya, aku ada janji, jadi aku pulang sekarang.
Kau tidak keberatan lembur sendiri kan.”
“Iya.”
“Kalau
begitu aku cabut dulu.”
“Hati-h`ti.”
Graha
Bagaskara Nampak ramai.
0 komentar:
Posting Komentar