web stats

dulu, sekarang dan masa depan

Sabtu, 28 April 2012


Langit hari ini mendung, semendung perasaan Fa. Sedari 20 menit yang lalu ia terus memandang undangan sebuah pameran. Ia menghadap jendela, meraba perasaannya.
Shanty dating dan menepuk pundaknya,
“Ngelamunin apa sih.” Fa mendongak, ia menggeleng.
“Kok gitu. Oh iya, kamu kenal sama Devan.”
“Enggak.”
“Kok undangannya sampai ke kamu. Sadder dong, ini Surabaya dan Devan di Jakarta. Kalau nggak kenal pasti nggak bakalan dapat undangannya. Lagian, Devan kan orang hebat.”
“Memangnya kamu tahu kayak apa Devan itu.”
“Ya tahu dari majalah bisnis doang sih. Mang kamu tahu.”
“Tahu dong. Majalah banyak mampangin infonya. Hehehehe.”
“Hehm, sama aja. Tapi menurutku kamu kenal.”
“Mungkin Devan tertarik sama resto ini.”
“Hehm, di sanakan masih banyak resto yang lebih baik. Ada-ada kamu ini.”
“Mungkin aja dong.”
“Jadi ikut.”
“Mungkin. Kalau iya aku akan berangkat lusa. Aku sudah kangen sama ayah ibu.”
“okey. Met have fun aja. Urusan resto biar aku yang handle.”
Kini ganti Fa yang menepuk bahu Shanty dan menuju mobilnya. Ia memutuskan pulang ke rumah. Sesampai di rumah, Fa masih saja membawa undangan pameran Devan yang Nampak elegant. Pikirannya melayang. Terlihat ada gurat  sedih, pilu dan bingung.
“Devan… exhibition. Tgl 17-20 april. 17th silver gallery. Di graha bagaskara no 11.  Silver gallery… apa ini gallery warna milik tante Devan yang dulu itu. Ah, kenapa aku memikirkannya. Tidak seharusnya aku begini. Tapi kenapa harus silver. Warna kesukaan aku dan Devan. Apa ini disengaja. Ah, bodoh amat. Devan pasti sudah melupakanku. Undangan ini saja dari Eva. Aku memang yang salah, bukan sahabat yang baik.” Fa menunduk. Air matanya jatuh, juga undangan yang sedari tadi dibawanya.
“Maafkan aku…” gumamnya.
*
“Bagaimana persiapan pamerannya, An.” Tanya Devan yang masih mengenakan jas kerjanya  saat di gallery silver miliknya pemberian tante riska, adik papanya.
“Sudah hamper selesai. Tinggal menghubungi pihak cattering untuk tamu khusus. Dan bisa dipastikan, saat pembukaan, semuanya sedah beres.” Kata Andi, sang asisten gallery silver sekaligus teman SMAnya dulu.
“Bagus, aku percayakan padamu. Oh ya, foto Cinta jangan lupa ditempatkan di ruang paling pojok. Aku ingin itu Nampak special. Okey.”
“Sip.”
“Dan juga, tempat jamuannya di lantai 3.”
“Okey.”
“Kau harus ekstra bekerja. Maaf.”
“Hey, kita kan teman, aku juga asistenmu. Dan aku tahu kau sibuk Devan, sudahlah santai saja.”
“Thank’s.”
“Hey, jangan lupa titip salam untuk Cinta ke Ananda.”
“Oh oh, kau benar-benar menyukai Nanda.”
“Ya begitulah. Meski dia masih SMA namun mempesona.”
“Dan kau harus siap jadi iparku nanti.”
“Hal mudah itu.”
“Okey.. aku cabut dulu.”
*
“Selamat malam.” Sapa Devan sesampai di rumah.
Lalu mamanya keluar.t “Larut  sekali. Dari mana saja, Dev.”
“Mengurusi pameran, ma. Ifan mana.”
“Sudah tidur dejak jam 9 tadi.”
“Oh… mama tidak tidur. Sudah larut gini.”
“Iya, mama baru saja bangun kok. Haus. Kau cpat tidur. Semingggu ini kau jarang tidur. Hati-hati sakit. Ya.”
“Okey. Salamat malam. Have a nice dream.” Devan mencium pipi mamanya.
            Sebelum kekamarnya, Devan ke kamar Ifan terlebih dulu. Membenarkan letak selimut Ifan. Dan sebelum keluar ia cium kening adik tunggalnya itu.
            Devan memutuskan mandi terlebih dahulu, lalu tidur. Devan memandang foto Cinta yang ia letakkan di meja sebelah ranjang.
“Selamat malam Cinta, semoga mimpi indah.”
            Fa mengemasi barang yang akan dibawanya ke Jakarta, 2 potong baju, kamera DSRL dan laptop. Besok ia akan berangkat lebih cepat sehari dari rencana. Urusan restonya telah ia serahkan pada Shanty. Fa membuka laci dekat kasurnya. Ia mengambil foto SMAnya dulu. Disana ada Fa, Devan dan Didi. Mereka sedang tertawa lepas dan bergandengan tangan.  Namun sayang, kini Didi tidak ada di dunia lagi, ia meninggal karena kecelakaan sebulan sesudah wisuda.
            “Kamu berhasil, Dev.”
            Lalu ponselnya berdering. Ayah.
            “Hallo, ada apa yah.”
            “Kesini kapan.”
            “Besok pagi. Ada apa.”
            “Hati-hati di jalan ya. Naik pesawatkan.”
            “Iya.”
            “Yasudah, istirahat saja. Sudah  malam.”
            “Iya.”
            Esoknya, Fa berangkat ke Jakarta pukul 08.35. sesampai di bandara Soekarno-Hatta, ia langsung menyetop taksi.
            “Istirahat saja dulu. Sudah sarapan kan.”
            “Sudah kok. Ayah mau kemana.”
            “Kerjalah. Oh iya, nanti kalau adek-adek pulang bilang ibu masih di rumah bu Eka. Ada makanan di meja makan.”
            “Baik yah. Hati-hati di jalan.”
            Ayah mengangguk lalu pergi. Lalu Fa naik ke kamarnya di lantai 2.
            Fa memandang keluar jendela. “Ternyata Jakarta masih sama. Apa… semuanya juga tetap. Aku 6 tahun tidak kesini.” Lalu ia menunduk sebent dan merebahkan tubuh ke kasur.
*
            Sesudah makan malam, Fa mendekam di kamar. Ia membongkar lemarinya. Ia menemukan kotak hitam berukuran sedang. Ia buka, ada buku arsitektur dan management terbitan 7 tahun yang lalu. Buku itu awalnya untuk Devan, namun urung karena ponsen Devan tidak aktif  sebelum ia pergi ke Surabaya.
            Fa mendekap buku itu. “Apa kau marah padaku, Dev. Apa kita masih bisa bersahabat lagi seperti dulu. Bukan sekarang ini. Bagaiman masa depan kita.” Fa kembali menunduk dan air matanya kembali menetes.
            Lalu Shanty menelepon.
            “Aada apa.”
            “Bagaimana, enak di sana.”
            “Sangat enak. Aku terlalu rindu pada keluarga. Bagaiman restonya.”
            “Tenang saja, semuanya beres.”
            “Sip, kau memang bisa diandalkan.”
            “Ya sudah, ternyata kau selamat sampai di sana. Bye.”
            “Bye.”
            Shanty adalah satu-satunya teman dekat Fa di Surabaya. Sama-sama penyuka masak dan wisata kuliner. Jadi Fa mengajak Shanty join membuka resto dan kini sudah memiliki 4 cabang.
            Fa lalu memasukkan kembali kotak hitam dan itu dan memutuskan untuk tidur. Tubuhnya lelah, tadi sesudah istirahat sebentar lalu membersihkan rumah. Ibu massih sibuk dan tidak sempat bersih-bersih. Maka tidur Fa kali ini terasa tenang.
*
            Cinta keluar dari Setiabudi Building, sehabis menemui papanya. Lantas ia menuju kantor Devan dengan membawa bingkisan berisi soto Lamongan kesukaan Devan. Ia bingung. Devan tidak punya darah jawa timur dan jawa tengah sama sekali, namun ia sangat suka soto Lamongan. Tapi saat ditanya kenapa, Devan hanya tersenyum dan Cinta tidak lagi membahasnya. Menurutnya, suka tidak perlu ada alasannya.
            “Selamat siang, menganggu.”
            Devan mendongak. “Oh, tidak. Duduk.”
            “Ini soto kesukaanmu. Makanlah, aku tahu kau tadi tidak sempat sarapan. Mama meneleponku.”
            “Aku buru-buru, jadi tidak sempat.”
            “Kau bisa sakit kalau begini, Dev.”
            “Iya aku tahu. Nanti ku makan.”
            “Sekarang. Apa perlu aku suapin.”
            “Baiklah, tapi bisa bantu aku.”
            “Apa.”
            “Tolong ketikkan ini selagi aku makan. Boleh.”
            “Okey.”
            Cinta sibuk mengetik, Devan makan.
            “Cin.”
            “Iya. Apa.”
            “Maaf ya ngerepotin.”
            Cinta mengangguk dan tersenyum manis.
            “Kau sudah makan.”
            “Sudah tadi sama papa sebelum kesini.”
            Devan mangut-mangut.
*
            “Belum pulang, Dev.”
            Devan mendongak. Eva.
            “Oh, kamu. Belum, masih ada yang perlu ku selesaikan.”
            “Kau bekerja terlalu berat. Kau butuh sedikit refreshing sobat.”
            Devan hanya tersenyum masam. Bisakah.
            “Siapa lagi yang akan melakukan ini jika bukan aku.”
            “Tapikan tidak usah terlalu. Kan masih ada aku, Rangga. Aku kasihan melihatmu sering lembur.”
            “Aku menikmatinya kok. Oh ya, bagaimana undangannya. Beres..”
            “Ya, tapi tinggal satu.”
            “Siapa.”
            “Yang special for you. Cinta. Kau harus memberikannya sendiri. Dan… lebih baik kau memberinya kado.”
            “Hehm…. Okey. Betul juga kamu. Bunga dan coklat kesukaan Cinta. Thank’s, tanpa kamu, mungkin Cinta akan bosan jalan denganku.”
            “Teman. Itulah gunanya. Mengingatkan. Oh iya, aku ada janji, jadi aku pulang sekarang. Kau tidak keberatan lembur sendiri kan.”
            “Iya.”
            “Kalau begitu aku cabut dulu.”
            “Hati-h`ti.”
*
            Graha Bagaskara Nampak ramai.

0 komentar:

Posting Komentar