web stats

dulu, sekarang dan masa depan

Sabtu, 28 April 2012


Langit hari ini mendung, semendung perasaan Fa. Sedari 20 menit yang lalu ia terus memandang undangan sebuah pameran. Ia menghadap jendela, meraba perasaannya.
Shanty dating dan menepuk pundaknya,
“Ngelamunin apa sih.” Fa mendongak, ia menggeleng.
“Kok gitu. Oh iya, kamu kenal sama Devan.”
“Enggak.”
“Kok undangannya sampai ke kamu. Sadder dong, ini Surabaya dan Devan di Jakarta. Kalau nggak kenal pasti nggak bakalan dapat undangannya. Lagian, Devan kan orang hebat.”
“Memangnya kamu tahu kayak apa Devan itu.”
“Ya tahu dari majalah bisnis doang sih. Mang kamu tahu.”
“Tahu dong. Majalah banyak mampangin infonya. Hehehehe.”
“Hehm, sama aja. Tapi menurutku kamu kenal.”
“Mungkin Devan tertarik sama resto ini.”
“Hehm, di sanakan masih banyak resto yang lebih baik. Ada-ada kamu ini.”
“Mungkin aja dong.”
“Jadi ikut.”
“Mungkin. Kalau iya aku akan berangkat lusa. Aku sudah kangen sama ayah ibu.”
“okey. Met have fun aja. Urusan resto biar aku yang handle.”
Kini ganti Fa yang menepuk bahu Shanty dan menuju mobilnya. Ia memutuskan pulang ke rumah. Sesampai di rumah, Fa masih saja membawa undangan pameran Devan yang Nampak elegant. Pikirannya melayang. Terlihat ada gurat  sedih, pilu dan bingung.
“Devan… exhibition. Tgl 17-20 april. 17th silver gallery. Di graha bagaskara no 11.  Silver gallery… apa ini gallery warna milik tante Devan yang dulu itu. Ah, kenapa aku memikirkannya. Tidak seharusnya aku begini. Tapi kenapa harus silver. Warna kesukaan aku dan Devan. Apa ini disengaja. Ah, bodoh amat. Devan pasti sudah melupakanku. Undangan ini saja dari Eva. Aku memang yang salah, bukan sahabat yang baik.” Fa menunduk. Air matanya jatuh, juga undangan yang sedari tadi dibawanya.
“Maafkan aku…” gumamnya.
*
“Bagaimana persiapan pamerannya, An.” Tanya Devan yang masih mengenakan jas kerjanya  saat di gallery silver miliknya pemberian tante riska, adik papanya.
“Sudah hamper selesai. Tinggal menghubungi pihak cattering untuk tamu khusus. Dan bisa dipastikan, saat pembukaan, semuanya sedah beres.” Kata Andi, sang asisten gallery silver sekaligus teman SMAnya dulu.
“Bagus, aku percayakan padamu. Oh ya, foto Cinta jangan lupa ditempatkan di ruang paling pojok. Aku ingin itu Nampak special. Okey.”
“Sip.”
“Dan juga, tempat jamuannya di lantai 3.”
“Okey.”
“Kau harus ekstra bekerja. Maaf.”
“Hey, kita kan teman, aku juga asistenmu. Dan aku tahu kau sibuk Devan, sudahlah santai saja.”
“Thank’s.”
“Hey, jangan lupa titip salam untuk Cinta ke Ananda.”
“Oh oh, kau benar-benar menyukai Nanda.”
“Ya begitulah. Meski dia masih SMA namun mempesona.”
“Dan kau harus siap jadi iparku nanti.”
“Hal mudah itu.”
“Okey.. aku cabut dulu.”
*
“Selamat malam.” Sapa Devan sesampai di rumah.
Lalu mamanya keluar.t “Larut  sekali. Dari mana saja, Dev.”
“Mengurusi pameran, ma. Ifan mana.”
“Sudah tidur dejak jam 9 tadi.”
“Oh… mama tidak tidur. Sudah larut gini.”
“Iya, mama baru saja bangun kok. Haus. Kau cpat tidur. Semingggu ini kau jarang tidur. Hati-hati sakit. Ya.”
“Okey. Salamat malam. Have a nice dream.” Devan mencium pipi mamanya.
            Sebelum kekamarnya, Devan ke kamar Ifan terlebih dulu. Membenarkan letak selimut Ifan. Dan sebelum keluar ia cium kening adik tunggalnya itu.
            Devan memutuskan mandi terlebih dahulu, lalu tidur. Devan memandang foto Cinta yang ia letakkan di meja sebelah ranjang.
“Selamat malam Cinta, semoga mimpi indah.”
            Fa mengemasi barang yang akan dibawanya ke Jakarta, 2 potong baju, kamera DSRL dan laptop. Besok ia akan berangkat lebih cepat sehari dari rencana. Urusan restonya telah ia serahkan pada Shanty. Fa membuka laci dekat kasurnya. Ia mengambil foto SMAnya dulu. Disana ada Fa, Devan dan Didi. Mereka sedang tertawa lepas dan bergandengan tangan.  Namun sayang, kini Didi tidak ada di dunia lagi, ia meninggal karena kecelakaan sebulan sesudah wisuda.
            “Kamu berhasil, Dev.”
            Lalu ponselnya berdering. Ayah.
            “Hallo, ada apa yah.”
            “Kesini kapan.”
            “Besok pagi. Ada apa.”
            “Hati-hati di jalan ya. Naik pesawatkan.”
            “Iya.”
            “Yasudah, istirahat saja. Sudah  malam.”
            “Iya.”
            Esoknya, Fa berangkat ke Jakarta pukul 08.35. sesampai di bandara Soekarno-Hatta, ia langsung menyetop taksi.
            “Istirahat saja dulu. Sudah sarapan kan.”
            “Sudah kok. Ayah mau kemana.”
            “Kerjalah. Oh iya, nanti kalau adek-adek pulang bilang ibu masih di rumah bu Eka. Ada makanan di meja makan.”
            “Baik yah. Hati-hati di jalan.”
            Ayah mengangguk lalu pergi. Lalu Fa naik ke kamarnya di lantai 2.
            Fa memandang keluar jendela. “Ternyata Jakarta masih sama. Apa… semuanya juga tetap. Aku 6 tahun tidak kesini.” Lalu ia menunduk sebent dan merebahkan tubuh ke kasur.
*
            Sesudah makan malam, Fa mendekam di kamar. Ia membongkar lemarinya. Ia menemukan kotak hitam berukuran sedang. Ia buka, ada buku arsitektur dan management terbitan 7 tahun yang lalu. Buku itu awalnya untuk Devan, namun urung karena ponsen Devan tidak aktif  sebelum ia pergi ke Surabaya.
            Fa mendekap buku itu. “Apa kau marah padaku, Dev. Apa kita masih bisa bersahabat lagi seperti dulu. Bukan sekarang ini. Bagaiman masa depan kita.” Fa kembali menunduk dan air matanya kembali menetes.
            Lalu Shanty menelepon.
            “Aada apa.”
            “Bagaimana, enak di sana.”
            “Sangat enak. Aku terlalu rindu pada keluarga. Bagaiman restonya.”
            “Tenang saja, semuanya beres.”
            “Sip, kau memang bisa diandalkan.”
            “Ya sudah, ternyata kau selamat sampai di sana. Bye.”
            “Bye.”
            Shanty adalah satu-satunya teman dekat Fa di Surabaya. Sama-sama penyuka masak dan wisata kuliner. Jadi Fa mengajak Shanty join membuka resto dan kini sudah memiliki 4 cabang.
            Fa lalu memasukkan kembali kotak hitam dan itu dan memutuskan untuk tidur. Tubuhnya lelah, tadi sesudah istirahat sebentar lalu membersihkan rumah. Ibu massih sibuk dan tidak sempat bersih-bersih. Maka tidur Fa kali ini terasa tenang.
*
            Cinta keluar dari Setiabudi Building, sehabis menemui papanya. Lantas ia menuju kantor Devan dengan membawa bingkisan berisi soto Lamongan kesukaan Devan. Ia bingung. Devan tidak punya darah jawa timur dan jawa tengah sama sekali, namun ia sangat suka soto Lamongan. Tapi saat ditanya kenapa, Devan hanya tersenyum dan Cinta tidak lagi membahasnya. Menurutnya, suka tidak perlu ada alasannya.
            “Selamat siang, menganggu.”
            Devan mendongak. “Oh, tidak. Duduk.”
            “Ini soto kesukaanmu. Makanlah, aku tahu kau tadi tidak sempat sarapan. Mama meneleponku.”
            “Aku buru-buru, jadi tidak sempat.”
            “Kau bisa sakit kalau begini, Dev.”
            “Iya aku tahu. Nanti ku makan.”
            “Sekarang. Apa perlu aku suapin.”
            “Baiklah, tapi bisa bantu aku.”
            “Apa.”
            “Tolong ketikkan ini selagi aku makan. Boleh.”
            “Okey.”
            Cinta sibuk mengetik, Devan makan.
            “Cin.”
            “Iya. Apa.”
            “Maaf ya ngerepotin.”
            Cinta mengangguk dan tersenyum manis.
            “Kau sudah makan.”
            “Sudah tadi sama papa sebelum kesini.”
            Devan mangut-mangut.
*
            “Belum pulang, Dev.”
            Devan mendongak. Eva.
            “Oh, kamu. Belum, masih ada yang perlu ku selesaikan.”
            “Kau bekerja terlalu berat. Kau butuh sedikit refreshing sobat.”
            Devan hanya tersenyum masam. Bisakah.
            “Siapa lagi yang akan melakukan ini jika bukan aku.”
            “Tapikan tidak usah terlalu. Kan masih ada aku, Rangga. Aku kasihan melihatmu sering lembur.”
            “Aku menikmatinya kok. Oh ya, bagaimana undangannya. Beres..”
            “Ya, tapi tinggal satu.”
            “Siapa.”
            “Yang special for you. Cinta. Kau harus memberikannya sendiri. Dan… lebih baik kau memberinya kado.”
            “Hehm…. Okey. Betul juga kamu. Bunga dan coklat kesukaan Cinta. Thank’s, tanpa kamu, mungkin Cinta akan bosan jalan denganku.”
            “Teman. Itulah gunanya. Mengingatkan. Oh iya, aku ada janji, jadi aku pulang sekarang. Kau tidak keberatan lembur sendiri kan.”
            “Iya.”
            “Kalau begitu aku cabut dulu.”
            “Hati-h`ti.”
*
            Graha Bagaskara Nampak ramai.

_ODESSA_ The Legend Of Prissa, Prince

Kamis, 12 April 2012


Part : 1

Cuaca hari itu tak seperti biasa di langit Jakarta. Prisa gadis SMA yang sedang menikmati udara sore merasakan sesuatu yang beda di sekitarnya. Udaranya terasa gerah dan tk bersahabat. Dipandangnya langit sore yang biru, beberapa ekor rajawali tiba-tiba melintas di atas kepalanya. Mereka mengoak dengan keras, namun tak ada seorangpun di taman kecuali Prisa. Prisa merasa penasaran dengan tingkah pra rajawali itu. Tak biasanya ada rajawali sebanyak ini di langit lepas Jakarta.
Hari sudah sore, pukul 16.23 sat ini. Prisa memutuskan untuk pulang saja. Saat Prisa akan beranjak pergi, tubuhnya serasa berat dan oleng. Detik berikutnya tak dikethuinya lagi. Semua mengabur, pias dan membingungkan.
                                                           
Saat Prisa membuka mata, dia sedang berada di sebuah tempat aneh dan asing bagi pandngannya. Ini adalah tempat yang mirip jaman kerajaan dulu. Kanan kiri masih sepi oleh rumah, dan rumahnya juga masih apa adanya.
“Dimana ini. Seumur-umur baru sekarang aku menginjakkan kaki di sini. Prasaan…. Tadi aku di taman. Kenapa sekarang tamannya berubah.” Batin Prisa.
Dia bangkit dan menyusuri sekitar, sepi. Maka dia memutuskan terus berjalan saja. Perutnya sudah lapar, karena sedari siang perutnya belum terisi.
                                                           
Iam mondar-mandir di teras. Hatinya resah karena hingga malam tiba, adik perempunnya belum juga pulang. Padahal tadi dia bilang akan pulang saat magrib. Kemanakah gerangan.
“Am, Prisa kok belum pulang. Susul gih. Ga baik lho cewek keluyuran malem-malem.” Tiba-tiba mamanya datang mengagetkan Iam.
“iya ma. Tadi sih bilangnya bakal pulang magrib. Ya udah aku cari Prisa dulu.”
Iam beranjak mengambil mobilnya di garasi, detik kemudian dia telah meluncur di jalanan keras Jakarta.
Hingga jam menunjuk pukul 21.00 malam, Iam tak juga melihat sosok Prisa. Padahal semua tempat yang biasanya Prisa kunjungi sudah ia datangi. Hasilnya nihil. Bahkan rumah semua teman Prisa juga sudah di intogerasi. Dia memutuskn pulang saja, karena waktu yang sudah tidak memungkinkan. Mungkin besok dia akan mencari lagi jika Prisa belum juga pulang.
                                                           
Iam kaget sekali saat ia menemukan sebuah gulungan mirip surat jaman dahulu, lalu dipungutnya. Ia menghampiri mamanya.
“ma, nih apaan.” Kata Iam seraya menunjukkan gulungan tadi.
“Lho, mana mama tahu. Memangnya kamu dapat dari mana.”
“Tadi di depan pintu.”
“Coba buka deh. Mungkin ada sesuatu yang penting di dalamnya.”
Dengan hati yang dibalut rasa penasaran, Iam membuka gulungan itu. Ternyata gulungan itu berisi surat. Iam mambacakan untuk mamanya.

Salam hormat pada keluarga Sudibyo

Sebelumnya kami mohon maaf atas kelancangan kami, Karena tanpa pemberitahuan sebelumnya kami meminta kembali Prisa. Kami akan mengatakan yang sebenarnya agar anda sekalian tidak saling menafsir akan kepergian Prisa yang tiba-tiba.
Prisa adalah keturunan terpilih dari kerajaan Odessa yang dititipkan ke dunia agar terhindar dari serangan kerajaan Trup yang kejam. Prisa adalah stu-satunya keturunan raja Odessa yang masih hidup. Kini kami membutuhkannya untuk mengambil ia kembali. Prisa harus menyelamatkan Odessa dari kehancuran. Prisa juga memiliki tugas penting untuk melawan kerajaan Koaf. Sebetulnya Prisa sudah memasuki umur 110 tahun, namun sebelum memasukkannya ke dunia, kami para ksatria mengubahnya menjadi seorang bayi dengan syarat kami harus merelakan nyawa kami. Kami ikhlas, karena nyawa Prisa harus di utamakan. Dan kami berhasil.
Kini saatnya Prisa yang mulia harus kembali ke tempat asalnya. Jangan cari Prisa. Anggap Prisa tidak pernah ada. Jika anda sekalian tetap bersikeras mencarinya, maka dengan terpaksa kami akan mengirimkan pasukan untuk menghilangkan semua memori tentang yang mulia Prisa. Karena Prisa adalah bagian yang tidak boleh ada selamanya di dunia anda seklian.
Besok, kami akan mengirimkan beberapa emas murni untuk mengganti Prisa yang mulia. Semoga dengan itu, anda sekalian bisa menerimnya dengan lapang dada. Kami tahu ini adalah perkara sulit bagi anda sekalian. Namun ini terpaksa dilakukan karena Goldeon, raja Koaf telah mengetahui keberadaan Prisa. Jdi kami harus melakukan ini.
Semoga anda sekalian bisa memakluminya. Ini hal yang penting dan nyata bagi anda sekalian.
Sekian pemberitahuan dari kami. Mohon pengertiannya.

                                                                                                Hormat kami
                                                                                    Para petinggi ksatria Odessa

            Iam menggulung surat itu. Hatinya kacau, begitu pula hati mamanya.
            “Apa itu benar adanya, Am. Apa benar Prisa diambil oleh makhluk aneh dari Odessa gila itu.” Tanya mama dengan raut wajah takut bercampur sedih.
            “Iam juga tidak tahu, ma. Jika besok semua itu terjadi, maka surat ini bukan bualan. Iam tidak mau jika Prisa diambil seperti ini.”
            “Semoga saja ini hanya mimpi mama yang salah alamat.”
            Iam meeluk mamanya yang tidak jadi memasak gara-gara hal ini.
                                                                       
            Keesokan harinya semua yang tertulis di dalam surat gulungan itu terjadi. Ada satu peti berukuran besar di depan pintu, seperti datangnya gulungan kemarin. Melihat pet itu mama langsung menangis, namun Iam mampu meredakannya. Detik berikutnya Iam dan mamanya membuka peti itu. Betapa kagetnya saat peti itu dibuka berisi emas penuh. Karena tidak percaya 100 % akan kemurnian emas itu, sorenya Iam membawanya ke juru emas untuk ditanyakan keasliannya. Ternyata itu memang emas 24 karat murni.
            Karena merasa stress akan kepergian Prisa, mama berniat melaporkan masalah ini ke polisi, namun Iam mencegahnya.
            “Apa mama mau ingatan tentang Prisa hilang dari otak mama. Selama 17 tahun kita bersama, tiba-tiba kita tak tahu sama sekali tentang Prisa. Lantas bagaimana jika teman-teman Prisa menanyakan keberadaannya. Untung saat ini masih libur sekolah. Lebih baik kita mencari alas an tentang kepergian Prisa untuk yang lain. Papa juga harus tahu hal ini, ma. Mama tahu kan papa saying banget sama Prisa.”
            “Iya,Am. Kamu benar. Lantas….. alasan apa yang harus kita buat.”
            “Untuk papa, kita harus menceritakan yang sesungguhnya. InsyaAllah papa pasti akan tahu dan mau mengerti. Trus buat yang lain, kita bilang saja Prisa pindah ke luar negri dengan papa. Bagaimana….”
            “Terserah kamu. Yang penting itu keputusan benar. Mama ikut saja. Mama bingung, Am. Mama bisa stress dan gila.”
            “Iam tahu, ma. Iam juga merasakan apa yang mama rasakan. Mama yang sabar ya. Semoga ini ada hikmah yang bisa kita petik. Apa yang kita miliki tak akan selamanya akan kita miliki.”
            “Iya, Am.”
            “Papa pulng kapan.”
            “Seminggu lagi, kamu persiapkan saja semuanya. Mama percayakan padamu.”
                                                                       
            Sehari menjelang kepulangan papa, Iam mendapat gulungan lagi.

            Salam hormat untuk Iam dan Ny. Sudibyo

            Anda tidak usah memikirkan msalah ini jika orang lain menanyakannya. Kami telah membereskan semuanya. Kini tak ada lagi yang mengingat Prisa terkecuali Iam dan Ny. Sudibyo saja. Untuk pak Sudibyo kami harus menghilangkan ingatannya. Hal itu dikarenakan kasih sayangnya yang sangat pada Prisa yang mulia. Jadi kami ingin mengucapkan maaf. Alasan mengapa kami tidak menghilangkan ingatan kalian adalah karena kalian tidak membesarkan masalah ini. Jadi mulai sekarang mulailah menjlani hari-hari baru kalian. Prisa aman di sini. Kalian tenang saja.

                                                                                                Hormat kami
                                                                                    Para Petinggi Ksatria Odessa

            “Apa ini akan menjadi nyata, Am.”
            “Semoga saja, ma. Mungkin dengan ini kita tidak akan bingung lagi memikirkan alasan tentang Prisa. Biarkan hanya kita yang tahu.”
            “Iya, Am. Tapi….. mama rindu sekli dengan keceriaan Prisa, Am.”
            “Sama, Iam juga kangen Prisa. Tapi kita hanya bisa melihat fotonya.”
            “Iam, bagaimana jika papa menanyakan kamar siapa ynga dipakai Prisa.”
            “Kita bilng saja kamar tamunya nambah. Bgaimana. Nnti barang-barangnya Prisa biar ditruh gudang.”
            “Iya deh, terserah kamu. Tapi foto dan barang-barang kesayangan Prisa jangan ditaruh gudang. Biar mama bisa melihatnya setiap mama rindu.”
            “Iya. Biar ditaruh kamarku saja. Bagaimana.”
            Mama mengangguk dengan air mata yang tiba-tiba menetes. Tak pernah terbayangkan bahwa anak perempuannya yang sangat disayanginya hilang. Lebih tepatnya diambil pksa darinya. Namun semuanya telah terjadi. Semoga ini menjadi yang terbaik dari yang di atas.
                                                                       
            Ternyata benar, tak ada yang mengingat tentang Prisa. Hanya Iam dan mamanya yang ingat. Hal itu membuat Iam bingung. Siapa sebenarnya yang mengambil Prisa. Sebenarnya seperti apakah Odessa itu. Yang ia tahu Odessa adalah sebuah kota di Sofiet atau Rusia. Namun dia tidak pernah mendengar secuilpun tentang keberadaan kerajaan Odessa maupun Koaf yang memusuhinya. Ah, semakin sesak dan bingung saja pikirannya jika memikirkan tentang Prisa.
                                                                       
            Mulai sekarang Iam tidak ingin mengingat Prisa. Meskipun ia tetap menyayangi Prisa sebagai adik tersayangnya. Namun ia tak ingin tersiksa dengan kekalutannya. Biarkan Prisa hanya menjadi masalalu yang terindah untuk dikenang. Ia berharap mama melakukan hal yang sama sepertinya. Meskipun dia tahu, bukan hal yang mudah bagi mama menerima ini semua. Hati ibu mana yang rela jika anaknya diambil secara misterius, jika bukan ibu yang tak waras.
            “Selamat pagi, ma. Masak apa nih.” Sapa Iam saat akan sarapan.
            “Nih mama masak sayur asam. Kamu tahukan. Prisa sangat senang dengan sayur asam. Trus……..”
            "Apa, ma. Kok mama murung gitu.”
            “Hari ini …… apa kamu nggak ingat hari apa.”
            “Hari ini hari senin. Iam ingatlah.”
            “Im….. hari ini Prisa ultah yang ke 17. jadi mama ingin merayakannya dengan kamu. Hanya kamu yang ingat tentang Prisa.”
            Iam sontak memeluk mamanya. Airmatanya ingin sekali jebol, namun ditahannya dengan kuat. Sesudahnya acara makan-makan dimulai.
            “Semoga kamu bahagia di sana, Sa. Mama akan mendoakan kamu selalu. Sehat ya sayang.” Batin mama. Lalu airmatanya jatuh. Untung tak ada yang tahu karena mama ada di kamarnya. Semoga Prisa bisa melupakannya jika tak bisa kembali ke sini. Mama takut jika Prisa sampai rindu rumah dan marah besar jika tak bisa kembali. Mama tahu tabiat Prisa yang sangat ambisius. Semoga saja terwujud keinginannya itu. Semoga.
                                                                       
            Ini menjadi yang ketiga kalinya Iam dan Ny. Sudibyo mendapatkan surat gulungan.

            Salam Hormat untuk Ny. Sudibyo dan Iam

            Terima kasih atas usahanya untuk melupakan yang mulia Prisa. Prisa sedang dalam proses pengingatan masalalunya. Dia harus mengingat memorinya yang sempat terbuang gara-gara terlalu lama di dunia. Dia juga sedang belajar ilmu beladiri untuk menghadapi Goldeon yang telah menunggunya. Kondisinya sedang dalam masa bagus. Jadi kalian harus tenang di sana. Untuk keinginan Ny. Sudibyo yang ingin agar Prisa melupakan masa-masanya di dunia, tidak bisa kami lakukan. Hal itu sudah terpatri di memorinya. Dan bukan perkara baik jika kami menghilangkan memori raja kami. Jadi kami ucapkan maf yang sangat. Kami sudah mengirimkan pesan pada pembimbing Prisa yang mulia untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Prisa yang mulia. Sekian kabar yng bisa kami sampaikan. Jika waktu memungkinkan, kami akan memberikan informasi lagi.

                                                                                                Hormat kami
                                                                                    Para Petinggi Ksatria Odessa
                                                                       
            Part : 2

            Mendung menyelimuti langit Odessa yang tadinya cerah. Prisa berlari manuju sebuah gubuk tua yang tak ada orangnya.
            “Hallo….. apa ada orang.”
            Prisa melonggokkan kepalanya kedalam, namun nihil tak ada orang. Gubuk itu juga tak ada apa-apanya. Kosong melompong. Prisa memutuskan masuk saja. Sepertinya hujan akan segera turun.
            “Sebenarnya aku ini di mana sih. Kenapa aku bisa di sini. Apa aku salah langkah. Apa aku tadi diculik orang. Tapi apa ada daerah di Jakarta yang seperti ini. Adanya ya di pedalaman Papua atau Kalimantan.” Batin Prisa seraya memeluk lututnya karena hawanya sangat dingin akibat hujan baru saja reda.
            Karena terlalu lelah, akhirnya Prisa tertidur. Dalam mimpinya, Prisa menjadi seorang ratu dan duduk di atas singgasana yang sangat bagus penuh permata. Di kanan kirinya ada para dayang yang siap menuruti setiap yang diinginkannya. Lalu para mentri ada di depnnya, berjejer rapi. Disusul para petinggi kerajaan yang statusnya di bawah mentri duduk di barisan nomor dua. Kemudian disusul para wakil rakyat. Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan mata. Itu semua serasa nyata.
            “Nak…. Bangun….. nak…..” seorang perempun tua yang tlah mengeriput kulitnya membangunkan tidur Prisa yang hanya beberapa menit saja. Dengan sigap Prisa membenarkan letak duduknya. Ada perasaan takut yang menyergap. Namun untungnya Prisa ikut taekwondo, setidaknya dia bisa membela diri jika orang itu berniat mencelakainya.
            “Siapa anda.” Tanya Prisa dengan pandangan menyelidik.
            “Seharusnya saya yang menanyakan itu pada kamu. Saya pemilik gubuk jelek ini. Lantas siapakah gerangan dan darimana asal kamu. Sepertinya kamu bukan orang sini jika dilihat dari pakaianmu yang aneh.”
            ‘Aneh, seharusnya aku yang bilang begitu padamu. Bajumu kotor dan kuno. Huh, andai kau bukan orang tua, pasti kan ku tonjok mukamu.’ Batin Prisa.
            “Aku dari Jakarta. Maaf aku tidak sopan masuk tanpa izin anda. Tadi kulihat tidak ada orang satupun dan juga rungannya kosong. Ku piker ini gubuk tanpa penghuni, jadi aku masuk saj. Maafkan aku. Oh, ya ini daerah apa jika boleh tahu.”
            “Jakarta…. Ah, aku tidak tahu. Ini Odessa.”
            “Odessa, jadi ini di Rusia.”
            “Apa lagi itu. Aku tidak tahu. Nama yang kau sebutkan sungguh asing di telingaku. Ini Odessa, daerah bagian dari kerajaan Olfusen. Odessa adalah pecahan dari kerajan Olfusen, yang satunya dalah Obelis. Apa kau tahu.”
            “Sama sekali aku buta akan hal itu. Ah, sudahlah tidak usah dibahas. Kalau begitu aku pamit. Terima kasih atas tumpangannya.”
            Prisa beranjak pergi, namun nenek tua itu mencegahnya.
            “Jika kau pergi dari gubukku ini mak kau akan tidur dimana. Bukannya kau tidak tahu sama sekali daerah ini.”
            “Entahlah, mungkin aku akan berjalan sesuai langkah hatiku.”
            “Sebaiknya kau tinggal disini. Aku tahu gubukku ini jelek dan kecil, namun aku dank au bisa tinggal disini. Aku juga jarang digubuk. Aku sibuk mencari bahan makan. Selagi ku pergi, kau bisa menjaga gubuk ini untukku. Bagaimana.”
            Prisa terdiam sejenak, berfikir. Detik kemudian ia mengangguk, setuju.
            “Mulai sekrang kau bisa tinggal disini. Pnggil ku terserah kamu. Tapi lebih baik nenek saj, karena aku tak muda lagi.”
            “Baik, nek.”
                                                                                 
            “Kau sudah bangun Prisa.”
            “Iya. Maaf aku kesiangan nek.” Ucap Prisa seraya tersenyum. Ternyata nenek ini sangat baik, pikirnya.
            “Tidak apa-apa. Jaga gubuk ya. Nenek harus ke kota untuk mencari makanan.”
            “Bolehkah aku ikut. Aku ingin mengetahui daerah ini. Kumohon.”
            “Baiklah. Namun gantilah bajumu itu. Akan banyak mata nantinya yang kan melihatmu dengan heran jika kau tetap memakainya.”
            Sedari kemarin Prisa tetap memakai kaus warna silvernya dipadu dengan jaket hitam dan celana jeans. Prisa tertawa dalam hati. Benar sekali apa kata nenek. Ini bukan daerah Jakarta yang sudah metropolis. Ini Odessa, entah daerah apa ini. Namun ia harus menyesuaikan pakaiannya jika tidak mau dianggap orang aneh.
            “Baiklah, tapi aku tidak punya baju lagi.”
            “Jika kau mau, pakailah bajuku. Nanti kita cari baju di kota.”
            “Baiklah.”
            Prisa dan nenek Kyuf telah sampai di kota. Ternyata suasana kota tidak seperti kota yang ada di Indonesia atau Jakarta. Ini seperti di film-film jaman kolosal. Masih klasik. Pakaiannya juga seperti jaman dahulu.
            ‘Apa aku terdampar di jaman kuno. Kalau iya, kenapa bisa. Mama, papa, kak Iam, aku rindu kalian.’ Batin Prisa.
            “Prisa, kau melamun saja. Bagaimana dengan baju ini. Sepertinya cocok untukmu.”
            Prisa memperhtikn baju pilihn Kyuf. Gila baju itu seperti kain pel yang kumal. Namun di sini itu bagus. Apa boleh buat.
            Sesudah mendapatkan semua yang diperlukan Prisa dan Kyuf kembali ke gubuk dengan mengendarai kuda putih yang baru saja dibeli Kyuf.
            “Nek, tolong ceritakan padaku tentang Odessa ini. Aku tidak tahan lagi. Aku bingung dengan Odessa.”
            “Kau tersesat disini?.”
            Prisa mengangguk.
            “Baiklah.”                                
            Odessa adalah sebuah kerajaan bagian dari Olfusen, kerajaan induk. Odessa adalah kerajaan besar dimasa lalu. Namun berlahan redup tatkala mendapat serangan dari kerajaan Trup. Odessa adalh kerajaan kuat, namun telah lelah dan tidak siap menghadapi serangan karena baru saja usai peperangan dengan kerajan Obelis. Obelis adalah saudara dari kerajaan Odessa namun tidak pernah akur, akibat perebutan kekuasaan dan wilayah. Padahal raja terakhir kerajan Olfusen telah membaginya dengan adil. Namun dasar sifat manusia yang serakah. Setelah penyerangan itu, tinggal seorang putrid raja terakhir Odessa yang hidup. Namun putri itu hilang entah dimana. Tak ada yang tahu. Jika putrid itu telah kembali maka akan terjadi peperangan besar di Olfusen. Karena kerajaan Koaf mengincar nyawa putri itu. Karena putri itu juga meminun air keabadian seperti Goldeon, raja Koaf. Putri itu sudah berumur 110 tahun. Putri itu memiliki kekutan yang sangat dahsyat.